Pertempuran Surabaya adalah salah satu pertempuran terbesar
yang terjadi pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Pertempuran antara
pasukan Indonesia melawan pasukan sekutu, tidak lepas kaitannya dengan
peristiwa yang mendahuluinya, yaitu perebutan kekuasaan dan senjata
tentara Jepang. Perebutan senjata telah dimulai sejak tanggal 2
September 1945. Pada akhirnya perebutan senjata ini membangkitkan suatu
pergolakan, yang berubah menjadi situasi revolusi yang menegangkan.
Kedatangan Sekutu di Surabaya
Pasca proklamasi kemerdekaan, para pemuda Surabaya berhasil
memperoleh senjata dari tentara Jepang. Selain itu, gerakan pemuda juga
diorganisir sedemikian rupa, sehingga mereka siap menghadapi berbagai
ancaman yang datang dari mana pun.
Pada tanggal 25 Oktober 1945, Brigade 49 dari Divisi 23
Sekutu yang berkekuatan sekitar 5.000 tentara mendarat di Surabaya di
bawah pimpinan Brigadir Aulbertin Walter Sothern Mallaby. Setibanya di
Surabaya, mereka segera masuk ke dalam kota dan mendirikan pos
pertahanan di delapan tempat.
Awalnya, mereka ingin segera melucuti semua persenjataan
yang telah dikuasai rakyat, namun karena memperoleh tetangan keras dari
pemimpin Indonesia di Surabaya, akhirnya mereka mengalah.
Tanggal 26 Oktober 1945, dicapai kesepakatan antara pimpinan Indonesia dengan Brigadir Mallaby, yang isinya antara lain:
- Yang dilucuiti senjata-senjatanya hanya Tentara Jepang.
- Tentara Inggris selaku wakil sekutu akan membantu Indonesia dalam pemeliharaan keamanan dan perdamaian.
- Setelah semua senjata Tentara Jepang dilucuti, mereka akan diangkut melalui laut.
Meskipun kesepakatan baru saja tercapai, Sekutu justru
mengingkarinya. Pada malam hari tanggal 26 Oktober 1945, Sekutu
menyerang penjara Kalisolok. Tentara Sekutu membebaskan Kolonel Huiyer,
seorang perwira Belanda beserta beberapa tentara Belanda yang ditawan
pasukan Indonesia.
Pada tanggal 27 Oktober pukul 11.00 pagi, sebuah pesawat Dakota
melintas dari Jakarta, atas perintah Mayjen Hawthorn pesawat itu
menyebarkan pamflet yan isinya adalah perintah penyerahan senjata yang
dimiliki rakyat Indonesia kepada Tentara Sekutu.
Dalam waktu 2×24 jam seluruh senjata harus sudah diserahkan, dan bagi
yang masih membawa senjata melewati batas waktu itu akan ditembak di
tempat. Hal ini jelas bertentangan dengan kesepakatan sehari sebelumnya,
yang telah disetujui Mallaby.
Dikabarkan Mallaby sempat terkejut dengan adanya pamflet
tersebut, tetapi ia tetap mematuhi perintah pimpinannya di Jakarta, dan
segera memerintahkan pasukannya untuk melucuti senjata rakyat Surabaya.
Rakyat Surabaya menilai pihak Inggris telah melanggar perjanjian.
Akhirnya, pimpinan militer di Surabaya memberikan perintah untuk
menyerbu seluruh pos pertahanan Inggris.
Pada saat yang hampir bersamaan para pemimpin Nahdlatul Ulama dan
Masyumi menyatakan bahwa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia
adalah Perang Sabil, maka suatu kewajiban yang melekat pada semua
muslim. Para Kyai dan santri kemudian mulai bergerak dari
pesantren-pesantren di Jawa Timur menuju ke Surabaya.
Baca Juga:
Artikel Lengkap Peradaban Mesir Kuno (3200-2180 SM)
Rakyat Surabaya Menyerbu Sekutu
Serangan total dilakukan tanggal 28 Oktober 1945, pukul
04.30 pagi. Delapan pos pertahanan Sekutu diserbu sekitar 30.000 rakyat
bersenjata api, dan ditambah sekitar 100.000 rakyat bersenjata tajam.
Setelah digempur secara total, tentara Sekutu yang tidak siap bertempur,
mengibarkan bendera putih dan memohon untuk berunding.
Tercatat korban pertempuran yang berlangsung tanggal 28-29 Oktober,
Inggris mencatat 18 perwira dan 374 serdadu tewas, luka-luka, dan
hilang. Sementara di pihak Indonesia, sekitar 6000 orang tewas,
luka-luka, dan hilang. Kapten R. C Smith menulis, Mallaby saat itu
menyadari apabila petempuran dilanjutkan mereka akan disapu bersih.
Dalam posisi yang terdesak Inggris menghubungi pimpinan
Indonesia di Jakarta. Mereka sadar, tidak ada jalan lain selain meminta
bantuan pimpinan Indonesia di Jakarta, untuk menyelamatkan nyawa ribuan
tentara Inggris yang sudah terkepung.
Sore hari tanggal 29 Oktober, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh.
Hatta, dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin tiba di Surabaya dengan
menumpang pesawat militer Inggris. Hari itu juga Presiden bertemu dengan
Mallaby di gubernuran. Malam itu dicapai kesepakatan yang tertuang
dalam Armistic Agreement regarding the Surabaya-incident: a
provisional agreement between President Soekarno of the Republic
Indonesia and Brigadie Mallaby, Concluded on the 29 October 1945.
Mengenai hal lain dirundingkan dengan Mayjen Hawthorn, yang datang ke
Surabaya pada tanggal 30 Oktober. Berikut beberapa hasil kesepakatan
yang diperoleh pada tanggal 30 Oktober, antara pemimpin Indonesia dan
pemimpin pasukan Sekutu di Indonesia:
- Pamflet yang ditanda tangani Mayjen Hawthorn dinyatakan tidak berlaku.
- Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan polisi diakui oleh sekutu.
- Seluruh kota Surabaya tidak dijaga lagi oleh Sekutu, kecuali kamp-kamp tawanan dijaga tentara Sekutu bersama TKR.
- Untuk sementara waktu Tanjung Perak dijaga bersama TKR, polisi, dan tentara Sekutu untuk menyelesaikan tugas menerima obat-obatan untuk tawanan perang.
Hasil perundingan untuk menyelamatkan pasukan Mallaby dari kekalahan total dipertegas oleh menteri penerangan sebagai berikut:
- Pembentukan suatu Kontak Biro yang terdiri dari unsur pemerintah RI di Surabaya bersama-sama tentara Inggris.
- Daerah pelabuhan dijaga bersama, yang ditentukan kedudukan masing-masing oleh Kontak Biro.
- Daerah Darmo, daerah kamp interniran orang-orang Eropa dijaga oleh sekutu. Hubungan antara daerah Darmo dan pelabuhan Tanjung Perak diamankan, untuk mempercepat proses pemindahan tawanan.
- Tawanan dari kedua belah pihak harus dikembalikan kepada masing-masing pihak.
Pada perundingan itu juga disepakati nama-nama anggota
Kontak Biro dari kedua belah pihak. Dari Inggris ada 5 orang (Brigjen
Mallaby, Kolonel L. H.O Pugh, Wing Commander Groom, Mayor M. Hudson, dan
Kapten H. Shaw). Dari pihak Indonesia 9 perwakilan (Residen Sudirman,
Doel Arnowo, Atmaji, Mohammad, Soengkono, Soeyono, Koesnandar, Roeslan
Abdulgani, dan T. D Kundan selaku juru bahasa). Pasca tercapainya
kesepakatan Presiden Soekarno beserta rombongan kembali ke Jakarta pada
pukul 13.00.
Tewasnya Mallaby
Pasca Presiden dan rombongan kembali ke Jakarta, di beberapa tempat
masih terjadi pertempuran, sekali pun sudah diumumkan genjatan senjata.
Untuk menghentikan pertempuran, para anggota Kontak Biro dari kedua
belah pihak mulai mendatangi lokasi-lokasi yang masih terjadi
pertempuran.
Pada pukul 17.00, tanggal 30 Oktober, seluruh anggota Kontak Biro
pergi bersama-sama menuju satu lokasi pertempuran. Tempat terakhir ini
adalah Gedung Bank Internatio di Jembatan Merah. Gedung ini masih
diduduki pasukan Inggris, dan pemuda-pemuda masih mengepungnya.
Setibanya di lokasi pertempuran, pemuda-pemuda menuntut
supaya pasukan Mallaby menyerah. Mallaby tidak bisa menerima tuntutan
itu. Setelah penolakan tersebut, terjadi insiden baku tembak yang
mengakibatkan tewasnya Mallaby, Komadan Brigade 49 di Surabaya. Inggris
menyalahkan pihak Indonesia yang telah melanggar gencatan senjata dan
membunuh Mallaby.
Dari berbagai kesaksian mantan perwira Inggris di tempat
kejadian, ternyata yang memulai tembakan adalah pihak Inggris, sesuai
kesaksian Mayor Gopal tahun 1974. Penyebab tewasnya Mallaby sendiri
masih menjadi misteri. Ada yang mengatakan tertusuk bayonet dan bambu
runcing pemuda, namun berdasarkan surat dari Kapten Smith kepada Parrot
tahun 1973-1974, kemungkinan besar Mallaby terbunuh karena ledakan
granat yang dilempar pengawalnya sendiri.
Reaksi Sekutu Pasca Terbunuhnya Mallaby
Pasca tewasnya Mallaby, baik Letnan Jenderal Christison,
panglima AFNEI atau pun Mayor Jenderal Mansergh menyatakan, pihak
Indonesia telah melanggar genjatan senjata dan secara licik membunuh
Brigjend Mallaby. Dengan tuduhan tersebut, Inggris memperoleh alasan
untuk memenuhi perjanjiannya dengan Belanda, yaitu membersihkan kekuatan
bersenjata Indonesia.
Pihak Inggris menuntut pertanggung jawaban pihak Indonesia.
Pada tanggal 31 Oktober 1945, Letnan Jenderal Christison, memperingatkan
kepada rakyat Surabaya untuk menyerah, apabila tidak mereka akan
dihancurkan. Rakyat Surabaya tidak mau memenuhi tuntutan tersebut,
Kontak Biro Indonesia mengumumkan bahwa kematian Mallaby merupakan suatu
kecelakaan.
Setelah mendapat penolakan, Divisi 5 Inggris yang berkekuatan 24.000
tentara di bawah komando Mayjend R. C. Mansergh mendarat secara
diam-diam di Surabaya. Selain diperkuat oleh sisa Brigade 49, masih
ditambah 1500 marinir, di bawah komando Rear Admiral Sir W. R. Patterson
yang memimpin beberapa kapal perang. Letjen Sir Philip Christison,
melengkapi pasukan Inggris dengan pesawat tempur Thunderbolt, Mosquito,
dan tank kelas Sherman, yang merupakan persenjataan tercanggih saat itu.
Kemudian, pada tanggal 7 November, Mansergh menulis surat kepada
gubernur Soeryo, yang isinya menuduh gubernur tidak mampu menguasai
keadaan, akibatnya seluruh kota dikuasai oleh perampok. Mereka dianggap
menghalangi tugas sekutu, untuk itu Sekutu mengancam akan menduduki kota
Surabaya. Serta memanggil Gubernur Soeryo untuk menghadap.
Dalam surat jawabannya tanggal 9 November, Gubernur membantah semua
tuduhan Mansergh. Gubernur Soeryo mengutus Residen Sudirman dan Roeslan
Abdulgani untuk menyampaikan surat balasan tersebut.
Di hari yang sama pukul 14.00, Mansergh menyampaikan ultimatum di
Surabaya. Butir kedua dalam ultimatum itu diformulasikan sedimikian rupa
sehingga mustahil untuk dipenuhi pemimpin sipil dan militer Indonesia.
Berikut isi dari ultimatum dari Mansergh:
Seluruh pimpinan Indonesia, termasuk pimpinan gerakan pemuda, kepala polisi, dan kepala radio Surabaya harus melapor ke Bataviaweg tanggal 9 November pukul 18.00. Mereka harus berbaris satu persatu membawa segala jenis senjata yang mereka miliki. Senjata tersebut harus diletakkan di tempat yang berjarak 100 yard dari tempat pertemuan, setelah itu orang-orang Indonesia harus datang dengan tangan di atas kepala mereka, dan akan ditahan, dan harus siap untuk menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat.
Bagi pemuda-pemuda bersenjata diharuskan menyerahkan senjatanya
dengan berbaris dan membawa bendera putih. Batas waktu yang ditentukan
adalah pukul 06.00 pagi tanggal 10 November 1945. Apabila tidak
diindahkan Inggris akan mengerahkan seluruh kekuatan darat, laut, dan
udara untuk menghancurkan Surabaya.
Persiapan Menghadapi Sekutu dan Penolakan Ultimatum
Mendapatkan ultimatum sedemikian rupa, para pemuda yang sudah siap
siaga membuat pertahanan di dalam kota. Komandan Pertahanan Kota,
Soengkono, pada tanggal 9 November pukul 17.00 mengundang semua unsur
kekuatan rakyat, yang terdiri dari komandan TKR, PRI, BPRI, Tentara
Pelajar, Polisi Istimewa, BBI, PTKR, TKR Laut untuk berkumpul di Markas
Pregolan 4.
Soengkono mempersilahkan siapa pun yang ingin meninggalkan kota.
Namun, mereka bertekad untuk mempertahankan kota Surabaya. Mereka
membubuhkan tanda tangan pada secarik kertas sebagai tanda setuju, dan
diteruskan dengan ikrar bersama.
Dengan adanya ultimatum ini, pemimpin Surabaya mengadakan pertemuan.
Mereka melaporkan kepada presiden, namun hanya diterima oleh Menteri
Luar Negeri Ahmad Subardjo. Menteri luar negeri menyerahkan keputusan
kepada rakyat Surabaya. Secara resmi pada pukul 22.00, Gubernur Soeryo
melalui radio, menyatakan menolak ultimatum Inggris.
Sebelum waktu ultimatum habis, kota Surabaya telah dibagi menjadi 3
sektor pertahanan. Garis pertahanan ditentukan dari JalanJakarta, tetapi
penempatan pasukan agak mundur ke Krembangan, Kapasan, dan Kedungcowek.
Garis kedua di sekitar Viaduct. Garis ketiga di daerah Darmo.
Pembagian tiga sektor meliputi sektor barat, sektor tengah, dan
timur. Sektor barat dipimpin oleh Koenkiyat. Sektor tengah dipimpin oleh
Kretarto, dan Marhado, sedangkan sektor timur dipimpin oleh Kadim
Prawirodihardjo. Sementara itu, radio perlawanan yang dipimpin oleh Bung
Tomo membakar semangat juang rakyat. Siaran ini dipancarkan dari Jln.
Mawar No. 4.
Klimaks Pertempuran Surabaya: Pertempuran 10 November
Tanggal 10 November 1945 pukul 06.00, setelah habisnya waktu
ultimatum, Inggris mulai menggempur Surabaya dengan seluruh armada
darat, laut, dan udara. Pemboman secara brutal di hari pertama telah
menimbulkan korban yang sangat besar. Di pasar Turi, ratusan orang tewas
dan luka-luka. Inggris juga berhasil menguasai garis pertama pertahanan
rakyat Surabaya.
Rakyat Surabaya tidak tinggal diam, mereka melakukan perlawanan atas
serangan tersebut. Pertempuran yang tidak seimbang selama tiga minggu
telah mengakibatkan sekitar 20.000 rakyat Surabaya menjadi korban,
sebagian besar adalah warga sipil. Selain itu, diperkirakan 150.000
orang terpaksa meninggalkan kota Surabaya, yang hampir hancur total
terkena serangan Sekutu. Sementara di pihak Inggris tercatat 1.500
tentara Inggris tewas, hilang, dan luka-luka.
Pertempuran terakhir terjadi di Gunungsari, pada tanggal 28 November
1945, namun perlawanan secara sporadis masih dilakukan setelah itu.
Sebagai penghormatan atas jasa para pahlawan yang dengan berperang
dengan gigih melawan Sekutu di Surabaya, tanggal 10 November 1946
Soekarno menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan.
Tindakan Inggris untuk menghukum pasukan Indonesia di Surabaya,
dianggap Mansergh sebagai hukuman yang pantas atas pelanggaran terhadap
peradaban. Akan tetapi, tindakan yang dilakukan oleh Inggris pada
tanggal 10 November, justru mencerminkan tindakan pelanggaran terhadap
peradaban dan kemanusiaan secara nyata. Kematian Mallaby seakan hanya
dijadikan Casus Belli, untuk menghancurkan kekuatan militer Indonesia di Surabaya.
Selain itu, pertempuran Surabaya, dimanfaatkan untuk memenuhi
perjanjian bilateral mereka dengan Belanda serta menjalankan keputusan
Konferensi Yalta yakni pengembalian situasi pada Status Quo, seperti sebelum invasi Jepang.
Pertempuran Surabaya berakhir dengan kekalahan pihak Indonesia. Akan
tetapi, perang tersebut membuktikan bahwa rakyat Indonesia rela
berkorban demi mempertahankan kemerdekaan mereka, meskipun harus dibayar
dengan nyawa.
Baca Juga:
Peradaban Lembah Sungai Indus (3000-500 SM)
BIBLIOGRAFI
Hutagalung, Batara R. 2010. Serangan Umum 1 Maret 1949: Dalam Kaleidoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Yogyakarta: LKIS.
Poesponegoro, Marwati Djoened. 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs, M. C. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta Gadjah Mada University Press.
Wiharyanto, A. Kardiyat. 2011. Sejarah Indonesia dari Proklamasi sampai Pemilu 2009. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Pertempuran Surabaya 10 November 1945 Artikel Lengkap
4/
5
Oleh
Admin