Pada abad ke-6 SM, atau pada generasi Buddha dan Mahawira,
pusat peradaban India mengalami pergeseran ke arah tenggara, yakni dari
Punjab ke daerah sekitar pertemuan sungai Gangga, Gogra, dan Son.
Pergesaran itu terjadi pasca perluasan yang dilakukan oleh Bangsa Arya,
dan penaklukan Lembah Sungai Indus oleh imperium Persia.
Bangsa Arya merupakan suku pendatang, yang kemudian banyak
mengadopsi bahasa dan cara hidup penduduk asli India. Pada
perkembangannya di wilayah lembah Sungai Gangga bermunculan
kerajaan-kerajaan, yang saling bersaing meraih kekuasaan tertinggi.
Selain itu, sistem masyarakat di lembah Sungai Gangga memiliki ciri khas
tersendiri yakni sistem kasta. Sistem kasta pada perkembangannya
menimbulkan pro dan kontra, di pihak kontra muncul tokoh-tokoh reformis
seperti Mawahira dan Buddha.
Baca Juga;
Bangsa Mongol ( Asal Bangsa Mongol dan Kehidupan Keras Bangsa Mongol)
Bangsa Arya
Sekitar 3500 tahun yang lalu, bangsa Arya berpindah ke
selatan melewati celah Khyber untuk berdiam di anak benua India. Bencana
alam, musim kemarau berkepanjangan, wabah penakit, dan perang saudara
memaksa bangsa Arya meninggalkan kampung halaman mereka di Rusia
Selatan.
Ciri-ciri umum Bangsa Arya adalah kulit putih, hidung
mancung, rambut lurus hitam terkadang pirang, warna bola mata biru, dan
postur tubuh tinggi. Awalnya bangsa Arya ini hidupnya nomaden, biasa
memelihara hewan ternak, menggembala dan juga berburu. Mereka juga
memiliki keterampilan dalam berperang dengan menggunakan kuda dan
senjata yang terbuat dari perunggu.
Di awal kedatangan bangsa Arya, kehidupan mereka di India
tidak semegah penduduk asli, mereka hidup dalam rumah-rumah kayu di desa
terpencil, tidak seperti penduduk kota yang tinggal di rumah-rumah
berbatu bata di Lembah Sungai Indus. Orang-orang Arya mengukur kekayaan
dari jumlah ternak yang dimiliki.
Meskipun tidak semaju penduduk asli India, mereka lebih
tangguh khususnya dalam bertempur dan bertahan hidup. Perlahan mereka
pun menetap dan mengadopsi kebudayaan Harrapa, yaitu menjadi petani dan
pandai besi. Sebelumnya bangsa Arya tidak mengenal padi, setelah mereka
mulai mengadopsi model pertanian suku asli India, maka padi menjadi
salah satu tanaman yang dibudidayakan.
Sekitar tahun 1200 SM, orang-orang Arya telah menetap di sepanjang
Indus, di sebelah selatan pegunungan, dan hampir seluruhnya tinggal di
bagian barat benua itu. Mereka telah mulai memhami makna inkarnasi baru
mereka sebagai sebuah bangsa yang menetap dan memiliki mitos sendiri.
Kumpulan himne india paling awal, yakni Rig Weda yang bercorak puisi,
diubah dalam bahasa mereka.
Dengan mengadopsi kebudayaan asli India, bangsa Arya terus
mengalami perkembangan. Perlahan-perlahan bangsa Arya menjadi pesaing
bangsa Dravida di Lembah Sungai Indus, dan mulai berperang untuk menjadi
penguasa Lembah Indus. Pada akhirnya bangsa Arya muncul sebagai bangsa
yang mendominasi lembah Sungai Indus.
Kehidupan Bangsa Arya di Lembah Sungai Gangga
Pada tahun 950 M, bangsa Arya mengembara semakin jauh dari Indus, dan
tinggal di Doab, suatu lengkungan yang terletak di antara utara sungai
Gangga dan anak sungai Jamuna. Letak Sungai Gangga sendiri berada di
antara pegunungan Himalaya dan pegunungan Windya-Kedna. Sungai Gangga
bertemu dengan sungai KwenLun. Lembah Sungai Gangga sangat subur,
sekitar tahun 1000-700 SM, daerah tersebut masih didominasi oleh hutan
tropis yang lebat.
Orang Arya yang tinggal di sekitar Lembah Sungai Gangga, mulai
memanfaatkan tanah subur wilayah tersebut untuk bercocok tanam. Selain
itu mereka memanfaatkan sungai, untuk sistem irigasi pertanian mereka.
Sistem pertanian yang sedemikian rupa memungkinkan bangsa Arya untuk
menopang kota besar di lembah Sungai Gangga.
Pada akhir abad ke-6 SM, wilayah lembah Sungai Indus direbut oleh
Persia. Akibat dari penaklukan tersebut, pusat peradaban India mengalami
pergeseran ke arah tenggara, dari Punjab ke daerah sekitar pertemuan
sungai Gangga, Gogra, dan Son.
Kondisi Politik di pusat peradaban India di lembah Sungai Gangga,
menyerupai kondisi politik di Cina yang sezaman dengan mereka. Seperti
Cina, lembah Sungai Gangga terbagi secara politik menjadi sejumlah
kerajaan yang berkuasa secara lokal, dan tentunya dengan kekuatan yang
berbeda-beda.
Pada abad tersebut, lembah Sungai Gangga terbagi ke dalam 16
kerajaan, di antaranya adalah negara Kuru, Gandhara, Videha, Satupura
Pancala, Ashuakan, Dekan dan Maghada. Ke-16 kerajaan itu disebut sebagai
mahajanapada, kata tersebut memiliki arti “sebuah suku yang memiliki tanah”.
Di luar ke-16 kerajaan itu, terdapat beberapa kelompok suku yang menolak untuk dimasukkan ke dalam salah satu dari 16 mahajanapada. Dibanding melebur ke dalam kerajaan-kerajaan itu, suku-suku tesebut memilih membentuk persekutuan mandiri, yang disebut gana-sangha.
Sistem Masyarakat Lembah Sungai Gangga
Sistem kasta menjadi ciri khas dari sistem masyarakat lembah Sungai
Gangga. Di dalam sistem tersebut terdapat 4 strata, pertama adalah
golongan pendeta; kedua, golongan ksatria; ketiga, golongan waisya dan
keempat, golongan sudra. Golongan Ksatria memegang kekuasaan politis,
tetapi para pendeta mempunyai kekuasaan tersendiri di dalam masyarakat.
Kurban-kurban dan persembahan adalah bagian dari kegiatan sehari-hari
kaum Arya. Dibalut bersama dengan budaya dari bangsa Harrapa, dan
suku-suku pribumi lain, praktik-praktik bangsa Arya menjadi inti dari
kebanyakan bentuk praktik keagamaan Hindu yang dikenal hinga sekarang.
Para pendeta (Brahmana) yang melaksanakan upacara kurban adalah
bangsawan pertama dalam lapisan masyarakat India, dan mereka terus
memegang pengaruhnya dalam ke-16 mahajanpa. Seperti ksatria yang
memerintah, para pendeta juga mempunyai marga sendiri, sehingga orang
yang terlahir dalam keluarga pendeta berarti termasuk golongan brahmana
dan berhak mewarisi hak istimewa dalam kurban.
Pembagian masyarakat ke dalam sistem kasta, menjadi salah satu ciri
khas dari sistem masyarakat lembah Sungai Gangga. Di sistem ini kaum
Brahmana mempunyai kekuasaan utuh, hal ini berbeda dengan kekuasaan
pendeta di luar peradaban India.
Pada zaman 16 kerajaan tersebut, seorang laki-laki yang tidak lahir
dengan marga ksatriya masih bisa menjadi raja, apabila para pendeta
melaksanakan ritual untuk melimpahkan berkat kuasaan suci atasnya. Akan
tetapi tidak seorang pun dapat mengambil tugas pendeta, kecuali
keturunan langsung dari golongan brahmana. Bahkan, menurut The Laws of Manu, kaum Brahmana digambarkan sebagai raja dari semua makhluk ciptaan, yang dilahirkan untuk melindungi pembendaharaan hukum.
Jika kaum brahmana merupakan golongan tertinggi dalam sistem kasta,
maka kaum sudra menempati kelas terendah. Mereka pada umumnya adalah
para budak dan pembantu. Mereka tidak mempunyai hak bersuara dan
kekuasaan, menurut hukum boleh dibunuh atau dibuang sesuka hati para
majikan. Asal kaum sudra tidak diketahui secara pasti, akan tetapi
kemungkinan besar kaum sudra berasal dari orang-orang yang ditaklukan
oleh mahajanapada.
Kemunculan Jainisme dan Buddha
Sistem kasta yang sedemikian rupa, memunculkan respon penolakan dari
beberapa tokoh reformis India abad ke-6 SM. Sekitar tahun 569 SM, muncul
seorang tokoh reformis bernama Nataputra Vardhaman (599-527 SM) atau
dikenal dengan sebutan Mawahira (pahlawan).
Mawahira berasal dari gana-sangha bernama Vrijji yang
terletak di timur laut lembah Sungai Gangga. Ia adalah seorang pangeran
dan orang kaya, akan tetapi ia mengalami perubahan dalam cara pandang
terhadap kehidupan.
Pada masa mudanya ia menolak kekayaan, dan kemudian melepaskan haknya
sebagai seorang pangeran. Setelah ia melepaskan gelar kebangsawanannya,
ia kemudian mulai bermeditasi selama dua belas tahun. Pada masa
meditasi ini, ia mendapat penglihatan tentang kehidupan yang bebas dari
semua pendeta, tidak ada para brahmana di alam tersebut.
Dari hasil meditasinya itu, ia memperoleh pencerahan bahwa tujuan
keberadaan manusia bukan untuk berkomunikasi dengan dewa-dewa lewat
perwakilan para pendeta. Tidak juga untuk menyenangkan para dewa dengan
tugas-tugas yang telah ditetapkan dari garis keturunan, seperti yang
diajarkan kitab Hindu. Sebaliknya, manusia harus melepskan diri dari
belenggu materi alam raya dengan menolak nafsu yang membelenggunya pada
dunia materi.
Sekitar tahun 597 SM, ia mulai berkeliling India, untuk mengajarkan lima sila hasil meditasinya. Kelima sila itu adalah ahumsa (tidak ada kekerasan terhadap semua makhluk), satya (kebenaran), asetya (menahan diri dari pencurian), brachmacharya (penolakan atas nikmat seksual), dan aparigraha (meninggalkan materi).
Mawahira bukan lah seorang penemu ajaran baru, melainkan seoran
pembuat perubahan atas praktik-praktik agama Hindu yang telah ada.
Perubahan-perubahan yang diajarkan itu berhasil menarik sekelompok
pengikut, khususnya dari golongan sudra dan waisya. Doktrin-doktrinnya
menjadi terkenal sebagai Jainisme, dan pengikutnya disebut sebagai jain.
Beberapa tahun kemudian, seorang inovator baru kembali muncul dari luar mahajanapada, yang lahir dari marga Shakya. Inovator baru ini bernama Siddharta Gautama atau lebih dikenal sebagai sang Buddha.
Seperti Mawahira, Siddharta lahir dalam lingkungan kekuasaan dan
kemewahan. Ia juga menolak hak istimewa hidupnya, dan pada umur 30 tahun
ia memutuskan keluar dari lingkungan istana.
Pada tahun 543 SM, ia mulai pergi berkelana, mencoba untuk berdamai
dengan pembusukan dan kerusakan yang tidak terhindarkan. Akhirnya, ia
mendapat jawaban atas apa yang dicarinya. Bukan lah nafsu yang
memperangkap manusia, melainkan keberadaan itu sendiri yang cenderung
terikat dengan selera yang menggebu-gebu dan selalu bernafsu.
Satu-satunya kebebasan dari nafsu adalah kebebasan dari eksistensi.
Sama halnya dengan Mawahira, ajaran yang disampaikan Buddha
merupakan perwujudan dari sikap anti brahmana dan anti kasta. Ajaran
Buddha menekankan bahwa setiap manusia harus bergantung pada dirinya
sendiri, tidak pada kekuatan dari seorang pemimpin yang kuat yang bisa
memecahkan masalah-masalahnya. U
Pendirian Kekaisaran Maghada
Sementara Mawahira dan Buddha berkhotbah tentang pembebasan dari kekayaan material, para raja dari mahajanapada
sedang bertempur untuk memperluas wilayahnya. Kerajaan Kashi dan Kosal,
di sebelah utara Gangga, dan Magadha di sebelah selatan bertempur untuk
memperebutkan Lembah Sungai Gangga. Persaingan tersebut juga diikuti
oleh gana-sangha Vrijji, meskipun gana-sangha tersebut tidak terlalu memberikan perlawanan yang berarti.
Kashi dan Kosal bertukar kekuasaan satu sama lain di utara Gangga,
tidak seorang pun mempertahankan dominasiya untuk waktu yang lama. Akan
tetapi Magadha di sebelah selatan terus mengalami perkembangan, dan
bertambah lebih kuat.
Raja Maghada, Bimbisara, naik tahta pada di tahun 544 SM, dan menjadi
pendiri kekaisaran pertama India. Ketika Buddha mencapai pncerahannya,
Bimbisara sedang mengerahkan pasukannya melawan kerajaan delta Anga, yag
menguasai akses sungai ke laut (melalui Teluk Bengal).
Meskipun penaklukan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai penaklukan
besar, akan tetapi penaklukan tersebut merupakan penaklukan penting pada
masa itu. Anga adalah kerajaan pertama yang ditaklukan oleh Bimbisara.
Pada perkembangannya Magadha terus menaklukan kerajaan-kerajaan
mahajanapada lainnya, dan menyatukannya di bawah satu pemerintahan,
yakni kekaisaran Maghada.
Baca Juga:
Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) 1930-1971M
BIBLIOGRAFI
Bauer, Susan Wise. 2010. Sejarah Dunia Kuno: Dari Cerita-Cerita Tertua sampai Jatuhnya Roma. Terj. Aloysius Prasetya. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Holland, Julian (ed.). 2009. Ensiklopedia Sejarah dan Budaya : Sejarah Dunia Jilid I. Terj. Nino Oktorino. Jakarta: Lentera Abadi.
Keene, Michael. 2004. Agama-agama Dunia. Yogyakarta: Kanisius.
Supriyadi, Y. 2012. Sejarah Asia Selatan. Yogyakarta: Kalika.
Suud, Abu. 1998. Memahami Sejarah Bangsa-bangsa di Asia Selatan (sejak masa purba sampai masa kedatangan Islam). Jakarta: Dedikbud, direktorat jendral pendidikan tinggi, proyek pengembangan lambaga kependidikan.
Suwarno. 2012. Dinamika Sejarah Asia Selatan. Yogyakarta: Ombak.
Toynbee, Arnold. 2007. Sejarah Umat Manusia. Terj. Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Peradaban Lembah Sungai Gangga Abad VI SM
4/
5
Oleh
Admin