
ASEAN (Association of South East Asia Nations)
adalah nama persekutuan dari negara-negara yang ada di Asia Tenggara
meliputi negara Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand.
Dibentuknya ASEAN tentu tidak lepas dari kepentingan-kepentingan
tertentu seperti kepentingan politik, ekonomi, dan perdagangan.
Berdirinya ASEAN adalah untuk mengantisipasi memuncaknya perang
Indochina dan Perang Dingin antara Blok Komunis dan Blok Barat.[1]
Pembahasan tentang latar belakang terbentuknya ASEAN cukup menarik
untuk dikaji sehingga kita mendapatkan pemahaman yang komprehensif
tentang proses terbentuknya ASEAN.
Sejak PBB dibentuk pada tahun 1945, berbagai pihak
melancarkan ide untuk menciptakan pengaturan kerja sama regional sebagai
sarana penunjang untuk mencapai kerja sama global. Gagasan tersebut
dipandang sebagai hal-hal yang sangat diperjuangkan guna mencapai
perdamaian dunia agar generasi berikutnya tidak mengalami kesengsaraan
peperangan. Sejak saat itu di seluruh kawasan dunia mulai menjalin
perjanjian kerja sama regional meliputi Eropa, Timur Tengah, Asia,
Afrika dan Amerika Latin. Perjanjian yang dilakukan tidak lepas dari
asumsi-asumsi. Pertama, kedekatan geografis akan memudahkan upaya-upaya
saling memahami di antara negara-negara yang bertetangga sehingga
masalah-masalah yang mungkin dapat menjurus kepada pertikaian dapat
diatasi dan tercipta dasar hidup berdampingan secara damai.[2]
Kedua, negara-negara tetangga yang berdekatan secara geografis
masing-masing memusatkan diri terutama pada kegiatan-kegiatan ekonomi.
Ketiga, kerja sama regional dilakukan untuk mencapai kata sepakat
tentang manfaat bersama yang diperoleh dari keterikatannya pada suatu
usaha bersama daripada menjalankan kegiatan pembangunan secara
tersendiri atau lebih dikenal dengan konvergensi kepentingan yang
bersumber pada keputusan politik.[3]
BacaJuga:
Pengertian Corporate Social Responsibility (CSR)
Latar belakang terbentuknya ASEAN tidak lepas dari berbagai faktor,
baik kondisi internasional, regional, bilateral, maupun kepentingan
nasional. Sejak tahun 1945, kawasan di dunia mendapat pengaruh dari
perang dingin yang terjadi antara Blok Barat yang dipimpin Amerika
Serikat dan Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet. Amerika Serikat dan Uni
Soviet sangat aktif memprakarsai berbagai bentuk kerja sama regional
yang berdimensi politik, ekonomi, dan keamanan. Hal tersebut dilakukan
untuk mendapatkan dukungan Internasional.[4]
Persaingan di kedua negara tersebut mendorong negara-negara di dunia
untuk mengikat diri dengan salah satu negara adikuasa itu.
Ketergantungan dan hegemoni yang tercipta mengakibatkan negara yang
dibantu atau dilindungi memiliki ruang gerak yang berkurang.
Di Asia, terdapat serangkaian upaya untuk menciptakan dan
mengembangkan kerja sama dalam berbagai bentuk dan tujuan. Upaya paling
awal, melibatkan sejumlah negara Asia Tenggara melalui Konperensi Asia
yang diselenggarakan di New Delhi pada tanggal 23 Maret sampai 2 April
1947 yang diikuti 17 negara Asia dan wakil-wakilnya dari Asia Tenggara,
masing-masing dari Myanmar, Indonesia, Malaya, Filipina, Muangthai, dan
Vietnam. Pada tanggal 20 Januari 1949 konperensi pemerintah
negara-negara Asia tersebut untuk membicarakan serangan Belanda terhadap
Indonesia yang berlangsung mulai tanggal 19 Desember 1948. Pada bulan
Mei 1950 di Filipina diselenggarakan pertemuan Asian Union yang
diikuti oleh Filipina, Australia, Australia, India, Indonesia,
Muangthai, Pakistan dan Sri Lanka. Sejumlah negara-negara baru di Asia
menilai bahwa kalau merdeka terlibat dalam salah satu blok dalam kancah
perang dingin, maka akan membahayakan kepentingan nasional mereka. Untuk
mendirikan blok ketiga secara militer terang tidak mungkin. Karena itu
mereka yakin bahwa dengan dibentuknya kekuatan ketiga dalam percaturan
politik Internasional dapat mengimbangi dua blok yang saling bersaing.
Dalam rangka untuk membentuk kekuatan ketiga (diluar Blok Barat dan
Timur), kelima negara Asia yaitu Myanmar, India, Indonesia, Pakistan dan
Sri Lanka pada bulan April 1954 bertemu di Colombo (Ibukota Sri Lanka).
Pada pertemuan itu, Indonesia mengusulkan ide untuk menyelenggarakan
Konperensi negara-negara dari Asia dan Afrika. Dengan disponsori
Indonesia, India, Mesir, Ghana, dan Sri Lanka maka pada tanggal 18-25
April 1955 berlangsunglah Konperensi Asia-Afrika di Bandung. Pertemuan
tersebut berhasil merubah peta politik Internasional karena KAA sebagai
embrio munculnya Gerakan Nonblok.
Kondisi Asia Tenggara
Disisi lain kekalahan Perancis di Indocina pada tahun 1954 membuat
gelisah Amerika Serikat sebagai Blok Barat, karena kekalahan dipihak
Barat akan membawa negara-negara di Asia Tenggara satu persatu berada di
bawah komunis. Untuk mengatasi hal tersebut Amerika Serikat dan
negara-negara Blok Barat lainnya mengambil langkah pembendungan yaitu
dengan memilih salah satu blok. Bagi negara Asia Tenggara yang
menyatakan tetap netral dinilai sebagai immoral, termasuk negara-negara
yang menjadi sponsor KAA yang nonblok. Pada tanggal 8 September 1954
dibentuklah SEATO (Southeast Asia Treaty Organization) di
Manila. SEATO adalah organisasi regional pertama di Asia Tenggara,
tetapi, kredibilitasnya lemah karena hanya diikuti oleh Amerika Serikat,
Inggris, Perancis, Australia, Selandia Baru, Pakistan, Filipina, dan
Muangthai, yang mana hanya dua negara saja yang berasal dari Asia
Tenggara.
Ketika Perdana Menteri Malaysia, Tengku Abdul Rahman, berkunjung ke
Filipina pada tahun 1959, ia mengusulkan pembentukkan organisasi kerja
sama regional untuk melindungi dan memperjuangkan
kepentingan-kepentingan nasionalnya. Kemudaian pada tanggal 31 Juli 1961
Malaysia, Filipina, dan Muangthai melalui sebuah deklarasi di Bangkok
mendirikan ASA (Association of Southeast Asia). Tidak lama
kemudian, terjadi perselisihan antara Filipina dan Malaysia tentang
Sabah (Kalimantan Utara) sehingga melumpuhkan kerja sama regional
tersebut. Tidak lama kemudian Filipina membentuk Konfederasi Melayu Raya
(Greater Malay Confederation) dengan tujuan untuk mencari
penyelesaian Malaysia disatu pihak dengan Filipina dan Indonesia dipihak
lain tentang Kalimantan Utara (Sabah) yang akan masuk ke dalam Federasi
Malaysia.
Pada tahun 1963 diadakan pertemuan tingkat tinggi di Manila yang
dihadiri oleh Soekarno, Tengku Abdul Rahman dan Diaspora Macapagal.
Dalam pertemuan tersebut mereka menyetujui untuk mengambil
langkah-langkah permulaan ke arah berdirinya sebuah organisasi kerja
sama regional baru yang kemudian dikenal dengan Maphilindo (Malaysia,
Filipina, Indonesia). Ketika Malaysia diresmikan pada tanggal 16
September 1963 mencakup Sabah, Serawak, Singapura, dan Malaysia. Sejak
saat itu Indonesia meningkatkan konfrontasi terhadap federasi baru itu.
Organisasi Maphilindo lumpuh karena Filipina tidak lagi mempunyai
hubungan diplomatik dengan Malaysia, kerja sama hanya dilakukan dua
pihak yaitu Filipina dan Indonesia.
Selama konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia berlangsung,
Indonesia membentuk poros Jakarta-Pnom Penh-Beijing dan keluarnya
Indonesia dari PBB. Hal tersebut merusak citra politik luar negeri
Indonesia yang bebas aktif. Praktek-praktek politik luar negeri yang
cenderung memihak ke kiri, dalam hal ini terutama RRC dan sangat anti
Barat menimbulkan dan mengembangkan kesangsian di berbagai negara
tentang kemurnian prinsip bebas aktif politik luar negeri Indonesia.
Ketika politik luar negeri Indonesia mengalami krisis kredibilitas yang
berat diluar negeri, dan juga dibeberapa kalangan di dalam negeri,
terutama kekuatan-kekuatan non atau anti komunis seperti di Angkatan
Darat dan golongan-golongan agama, meletusnya peristiwa G30S/PKI.[5]
Pada masa pemerintahan Orde Baru berangsur-angsur mengembalikkan citra
politik luar negeri yang bebas aktif. Konfrontasi dengan Malaysia
diakhiri dan dalam waktu yang relatif singkat keanggotaan Indonesia di
PBB dicairkan kembali. Bahkan Indonesia memainkan peran aktif dan
menentukan dalam pembentukkan organisasi regional di Asia Tenggara.
Sebelum konfrontasi Indonesia-Malaysia pemerintah-pemerintah di
Bangkok, Manila, dan Kuala Lumpur kembali memiliki gagasan kerja sama.
Pada tahun 1966, diadakan pertemuan menteri-menteri luar negeri ASA.
Dalam pertemuan tersebut membahas tentang regionalisme yang menjadi
pokok pembicaraan selama berlangsungnya perundingan bilateral informal
antara Indonesia dan Malaysia. Pada tahun 1966, Soeharto menjelaskan
syarat-syarat persetujuan untuk membawa konfrontasi Indonesia-Malaysia
ketahap akhir, Soeharto mengungkapkan apabila masalah Malaysia selesai
maka negara-negara di
Asia Tenggara dapat melangkah ke arah kegiatan-kegiatan dalam bidang kebijaksanaan luar negeri yang menjalin kerjasama yang erat berdasarkan prinsip saling menguntungkan antara negara-negara Asia Tenggara. Bangsa-bangsa di Asia Tenggara dapat menghidupkan kembali Maphilindo dalam lingkup yang lebih luas untuk mencapai suatu Asia Tenggara yang bekerja sama dalam berbagai bidang terutama bidang-bidang ekonomi, tekhnik dan budaya.
Asia Tenggara dapat melangkah ke arah kegiatan-kegiatan dalam bidang kebijaksanaan luar negeri yang menjalin kerjasama yang erat berdasarkan prinsip saling menguntungkan antara negara-negara Asia Tenggara. Bangsa-bangsa di Asia Tenggara dapat menghidupkan kembali Maphilindo dalam lingkup yang lebih luas untuk mencapai suatu Asia Tenggara yang bekerja sama dalam berbagai bidang terutama bidang-bidang ekonomi, tekhnik dan budaya.
Pada tahun 1966, antusiasme bagi kerja sama kawasan diikuti dengan
tekad menjamin bahwa setiap usaha kearah itu akan didasarkan pada
syarat-syarat Indonesia, meskipun didalam kerangka rekonsiliasi.
Perubahan politik di Indonesia menimbulkan suatu kesesuaian politik yang
justru tidak ada ketika ASA dibentuk pada tahun 1961. Walaupun
Indonesia menegaskan kembali secara formal prinsip-prinsip kebijaksanaan
luar negeri yang didasarkan pada pencegahan asosiasi yang bersifat
aliansi atau memberikan fasilitator bagi pangkalan militer asing dibawah
kepemimpinan Jenderal Soeharto telah bergabung ke dalam jaringan
informal negara-negara yang memiliki pandangan yang sama. Dalam hal ini
Indonesia merupakan mitra yang sejajar, walaupun tidak setara.
Pemerintahan-pemerintahan di Muangthai dan Filipina menanggapi dengan
semangat ungkapan minat Jenderal Soeharto untuk memajukan asosiasi Asia
Tenggara bagi kerja sama kawasan. Selain mencari rujukan yang tepat hal
itu mungkin memakan waktu sedikit untuk meyakinkan perdana menteri
Malaysia, Tengku Abdul Rahman, akan maksud baik Indonesia terutama
karena kedua negara ini belum mempunyai hubungan diplomatik
Peran Indonesia dalam Pembentukan ASEAN
Politik luar negeri Indonesia yang baru membuka kerja sama Indonesia
dengan negara-negara lain di dunia, organisasi-organisasi dan
badan-badan internasional yang ada demi kepentingan nasional Indonesia
untuk menanggulangi kesulitan ekonomi. Dengan penegasan kembali prinsip
dasar politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif, maka dirumuskanlah
langkah-langkah yang akan diambil. Langkah-langkah itu ialah
memperbaiki kesalahan pengertian dari negara-negara Blok Barat maupun
Blok Timur. Oleh karena itu, Indonesia segera kembali ke PBB dan
melakukan pendekatan kepada Blok Barat dan Blok Timur untuk meningkatkan
kredibilitas Indonesia di mata Internasional. Hal tersebut membuahkan
hasil, Indonesia mendapatkan kepercayaan di mata Internasional ditandai
dengan meningkatnya jumlah bantuan dan pinjaman luar negeri yang
diterima.
Pada masa sebelumnya Indonesia pernah terlibat konfrontasi dengan
Malaysia dan Singapura. Berbeda halnya pada masa Orde Baru, Indonesia
memperbaiki hubungannya dengan Singapura. Sehingga pada tanggal 6 Juni
1966 pemerintah Singapura memutuskan untuk mengakui Indonesia dan
menyetujui diadakannya pertukaran wakil-wakil diplomatik. Perdana
Menteri Malaysia, Tengku Abdul Rahman yang pada awalnya menentang
keputusan Singapura perlahan-perlahan mendukung. Langkah tersebut
dinilai sebagai langkah menuju perdamaian dan keamanan daerah Asia
Tenggara.[6]
Konfrontasi Indonesia-Malaysia yang telah berlangsung selama tiga tahun
pun dihentikan berdasarkan persetujuan bersama yang ditandatangani pada
11 Januari 1966 sebagai hasil persetujuan di Bangkok pada bulan Juni
1966. Dalam persetujuan itu Indonesia diwakili oleh Menteri Utama Bidang
Politik/Luar Negeri Adam Malik dan pihak Malaysia oleh wakil Perdana
Menteri Tengku Abdul Razak.
Pada akhir tahun 1966, Indonesia menawarkan kepada negara-negara di
Asia Tenggara untuk berhimpun dalam suatu wadah organisasi kerja sama
regional dalam rangka membangun dan mengisi kemerdekaan nasional
masing-masing negara. Ide tersebut disampaikan pada Singapura, Filipina,
Malaysia, Thailand, Kamboja dan Myanmar. Ternyata hanya Singapura,
Malaysia, Filipina, dan Thailand yang menyambut baik.
Pada tanggal 5-8 Agustus 1967 di Bangkok mengenai realisasi
pembentukkan suatu kerja sama regional yang baru, Indonesia menentang
pasukan asing di wilayah Asia Tenggara. Menanggapi persoalan tersebut
Menteri Luar Negeri Narcio Ramos dari Filipina melakukan pembelaan
terhadap pandangan pemerintahannya yang menganggap perlu adanya
pangkalan asing (Amerika Serikat) di Filipina, sedangkan Singapura dan
Malaysia menyatakan bahwa pasukan Inggris yang ada di negeri mereka
tidak lama lagi akan ditarik.
Indonesia yang baru saja terlepas dari kekuasaan komunis dan
kebijaksanaan politik luar negerinya menjauhi garis kiri, dan
anggota-anggota lainnya anti komunis atau paling tidak non-komunis, maka
ada kesan bahwa ASEAN dibenyuk oleh Blok Barat guna membendung komunis
di Asia Tenggar. Namun kesan tersebut sulit dibuktikan sebab
negara-negara anggotanya menghindari perlawanan dengan negara-negara
komunis. Jika dilihat dari proses pembentukkan ASEAN terlihat bahwa
organisasi tersebut dibentuk sebagai antisipasi terhadap perkembangan
politik di masa itu serta masa-masa berikutnya. ASEAN tidak dibentuk
sebagai sebuah organisasi dengan konsep-konsep yang dipersiapkan secara
matang dan terencana untuk jangka panjang.
Situasi pada waktu itu memang tidak memungkinkan. Dengan pemahaman
atas keadaan ini, maka seluruh makna yang bisa diperoleh Indonesia dari
ASEAN tersebut diatas bukanlah makna-makna besar yang langsung didapat
setelah ASEAN terbentuk. Sejak semula, harapan yang bisa ditumpukan pada
organisasi baru ini dari pihak Indonesia sebagai penggagas ialah bahwa
ASEAN dapat berfungsi sebagai sarana peredaan setelah terjadi perubahan
politik luar negeri Indonesia. Setelah terjadi peredaan ketegangan, lalu
diambil langkah-langkah pemulihan citra politik Indonesia di mata
negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara khususnya dan dunia
Internasional pada umumnya. Implikasinya, melalui ketahanan ekonomi dan
politik dapat dirasakan makna ketahanan regional dalam bidang pertahanan
dan keamanan.[7]
Baca Juga:
Definisi Pengertian Organisasi Menurut Ahli
DAFTAR PUSTAKA
Alfian, dkk. Latar Belakang Terbentuknya ASEAN. Jakarta: Seknes ASEAN Deplu RI, 1986.
Betram, Christoph. Konflik Dunia Ketiga dan Keamanan Dunia. Jakarta: Bina Aksara,_.
Luhulima, C.P.F. Luhulima. Dimensi Kerangka Kegiatan dalam Kerja Sama ASEAN. Jakarta: Sekretariat Nasional ASEAN, Departemen Luar Negeri RI, 1986.
Saifullah. Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Martadisastra, Ulkasah. Perbandingan Administrasi Negara ASEAN. Jakarta: Remaja Karya, 1985.
Wiharyanto, Kardiyat. Sejarah Asia Tenggara: Dari Awal Tumbuhnya Nasionalisme sampai Terbangunnya Kerja Sama ASEAN. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2012.
LengKap Latar Belakang Terbentuknya ASEAN
4/
5
Oleh
Admin