Sejak akhir pemerintahan Utsman ibn Affan, umat Islam
menghadapi cobaan berat dalam bidang politik kekuasaan. Perebutan
kekuasaan yang terjadi di antara umat Islam pada waktu itu, disebabkan
hampir setiap kelompok masyarakat muslim merasa berhak memperoleh
tampuk kepemimpinan sebagai khalifah. Perebutan kekuasaan mengakibatkan
melemahnya persatuan dan pertumpahan darah antara sesama umat, situasi
yang demikian pelik ini terjadi hingga masa pemerintahan Ali ibn Abi
Thalib, yang dapat dikatakan tidak dapat dilepaskan dari intrik
perebutan kekuasaan. Baru ketika memasuki pemerintahan Muawiyah ibn Abu
Sufyan (dinasti Umayyah), umat Islam perlahan-lahan dapat bangkit, dan
berkonsolidasi kembali membentuk suatu pemerintahan muslim yang kuat.
Dalam perkembangannya dinasti Umayyah memberikan kontribusi
besar dalam kemajuan peradaban Islam. Meskipun demikian, banyak
sejarawan yang menganut fanatisme kelompok, mencoba memutar balikkan
mengenai sejarah dinasti Umayyah. Beberapa diantara mereka mengatakan
bahwa periode dinasti Umayyah merupakan masa kegelapan umat Islam dan
mengeluarkan statement-statement yang menjatuhkan, tanpa memperhatikan
kontribusi yang diberikan dinasti tersebut. Untuk itu pada pembahasan
penulis ingin mengulas lebih jauh mengenai sejarah dinasti Umayyah
periode awal, tanpa adanya unsur fanatisme untuk menyerang dinasti
tersebut.
Baca Juga;
Historiografi Islam: Isi Karya-Karya Sejarah
Hubungan Bani Umayyah dan Bani Haysim
Jika diruntut berdasarkan nasabnya, dinasti Umayyah berasal
dari Umayyah bin Abdu Syams. Umayyah mempunyai hubungan darah dengan
Bani Hasyim, karena sama-sama berasal dari keturunan Abdu Manaf.
Umayyah merupakan seorang hartawan, sehingga ia memaksa diri untuk
mengikuti kebiasaan Hasyim bin Abdu Manaf (Nasab Rasulullah) memberi
makanan kaum Quraisy, dan memberi minum terhadap jamaah haji. Akibatnya
timbul rivalitas antara keduanya untuk memperoleh kehormatan, dan
kedudukan tertinggi di komunitas Quraisy yang pada waktu itu sangat
mementingkan hal semacam itu.
Rivalitas untuk menyediakan air minum, dan konsumsi bagi para jamaah
haji, hampir meletuskan perang terbuka antara keduanya. Persaingan
antara mereka dapat diselesaikan, setelah Ummayah menantang Hasyim untuk
menyediakan 50 unta untuk disembelih di Mekkah, dan yang kalah harus
meninggalkan Mekkah selama sepuluh tahun. Keduanya bersepakat untuk
menyelesaikan permasalah tersebut di hadapan seorang dukun dari Bani
al-Khuza’i (berdasar tradisi Mekkah saat itu). Persaingan tersebut
akhirnya dimenangkan oleh Hasyim setelah sang dukun memutuskan
kemenangannya, dan mengakibatkan Ummayah pergi ke negeri Syam, dan
menetap di sana selama sepuluh tahun.
Inilah kenyataan hubungan yang dibuktikan dengan kronologi
sejarah antara Hasyim, dan Ummayah bin Abdu Syams. Persaingan antara
paman, dan keponakan untuk memperoleh kehormatan tertinggi di kalangan
Quraisy. Mereka melakukan persaingan secara terhormat, dan saling
menghargai, bukan berdasarkan kedengkian, dan saling memusuhi. Tidak ada
dendam yang mendarah daging antara Bani Ummayah, dan Bani Hasyim
seperti yang diungkapkan sejarawan anti dinasti Umayyah. Justru pada
perang Al-Fujjar, perang terakhir suku Quraisy beserta suku Kinanah
melawan Suku Qais Ghailan. Pada pertempuran itu bani Ummayah, dan bani
Hasyim dapat bersatu melawan suku Qais. Rasulullah sendiri terlibat
dalam peperangan tersebut ketika berusia dua puluh tahun, dan berperang
dibawah komando Harb bin Ummayah.
Berdirinya Pemerintahan Dinasti Umayyah
Pasca meninggalnya Ali bin Abi Thalib, sempat terjadi
dualisme kekhalifahan dalam umat Islam. Muawiyah yang dinobatkan sebagai
khalifah di Iliya’(Yerusallem) pada 40 H/660 M. Sementara itu, jabatan
khalifah juga dipegang oleh Al-Hasan bin Ali (cucu Rasulullah), yang
dibaiat oleh penduduk Irak. Al-Hasan menjabat sebagai khalifah umat
Islam, menggantikan ayahnya yang terbunuh karena pemberontakan kaum
Irak. Dualisme kekhalifahan menyebabkan perpecahan antara umat Islam,
dan menyebabkan sulitnya mencapai persatuan.
Ketika menjabat sebagai khalifah, Al-Hasan menunjukkan kepribadian
yang lembut, dan tidak menyukai pertumpahan darah. Meskipun begitu,
Al-Hasan berbeda pandangan pengikutnya yang berasal dari Irak.
Orang-orang Irak mempunyai keinginan untuk memerangi Muawiyah penguasa
Syam, yang memang sejak zaman Ali bin Abu Thalib tidak mau tunduk. Pada
dasarnya Al-Hasan mempunyai niatan untuk mengakhiri konflik
berkepanjangan dengan Muawiyah, dan mengedepankan persatuan umat. Namun,
upaya tersebut tersebut terbentur dengan keinginan warga Irak, Al-Hasan
kemudian memanfaatkan situasi ini untuk menguji kesetiaan warga Irak
kepadanya.
Akhirnya, Al-Hasan menuruti permintaan orang-orang Irak untuk
berangkat memerangi Muawiyah. Dia sengaja menyusahkan pasukannya. Dia
menugaskan Qais bin Sa’ad untuk maju terlebih dahulu dengan membawahi
dua belas ribu pasukan, sementara AL-Hasan berjalan di belakang pasukan
itu. setibanya Al-Hasan di Mada’in, seorang penduduk Irak mengabarkan
Qais telah terbunuh. Ketika kekacauan terjadi di tengah pasukan,
penduduk Irak kembali ke tabiat asli mereka (tidak mempunyai pendirian
yang teguh). Mereka justru menyerbu tenda Al-Hasan serta menjarah
barang-barangnya, sampai karpet yang dipergunakan untuk alas pun mereka
ambil. Tidak cukup dengan menjarah, salah satu dari mereka bahkan
menusuk Al-Hasan hingga terluka.
Melihat pembangkangan pasukannya, Al-Hasan meyakini bahwa mereka
tidak bisa diharapkan untuk memperoleh kemenangan. Sejak peristiwa
tersebut semakin kuat lah keinginan Al-Hasan untuk berdamai dengan
Muawiyah, dia mulai berkomunikasi dengan Muawiyah untuk merundingkan
perdamaian. Melihat niatan ini, Muawiyah sangat senang dan segera
mengutus Abdullah bin Amir, dan Abdurrahma bin Samurah untuk menemui
Al-Hasan. Kedua utusan itu menemuinya di Mada’in, dan memberinya apa
saja yang diinginkannya. Al-Hasan bersedia berdamai dengan syarat
menerima lima ribu dirham dari Baitul Mal Kufah di samping syarat-syarat
lainnya. Salah satu isi perjanjian tersebut, menjadikan Muawiyah bin
Abu Sufyan sebagai khalifah menggantikan Al-Hasan.
Melalui langkah beraninya itu, Al-Hasan perlahan-lahan berhasil
menyatukan umat Islam kembali. Dia tidak memperdulikan kritik, dan
cemohan dari orang-orang Irak yang telah mengkhianatinya. Muawiyah tiba
di Kufah pada 25 Rabiul Awwal 41 H/661 M dengan disambut oleh Al-Hasan,
dan Al-Husain. Mereka berdua membaiatnya, dan kemudian diikuti umat
Islam lainnya.umat Islam merayakan peristiwa besar ini, dan menyebutnya
sebagai amul-Jama’ah (tahun persatuan). Dengan pembaiatan ini,
maka negara Bani Umayyah resmi memegang kekuasaan. Pada perjalanannnya,
Dinasti Umayyah berkuasa selama 92 tahun, dan kekhalifahannya dijabat
empat belas orang khalifah.
Peralihan Kekuasaan kepada Muawiyah
Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah. Nama
panggilannya Abu Abdur Rahman Al-Umawi. Dia, dan ayahnya masuk Islam
pada saat penaklukkan kota Mekah, sehingga termasuk golongan akhir yang
masuk Islam. Setelah memeluk Islam, dia ikut perang Hunain, dan
meriwayatkan Hadis sebanyak 163 riwayat. Menurut Imam As-Suyuti,
Muawiyah merupakan pribadi yang memiliki kepintaran, dan kesabaran.
Muawiyah menjabat sebagai khalifah dengan segudang
pengalaman panjang dalam memerintah, dan mengelola pemerintah.
Kekuasaannya sebagai gubernur Syam selama lebih dari dua puluh tahun
memberinya banyak pengalaman untuk menjalankan roda kekhalifahan.
Ketika di Syam, ia banyak melakukan inovasi-inovasi dalam bidang
pemerintahan, hal itu juga terjadi ketika ia menjabat sebagai khalifah.
Muawiyah melakukan perubahan-perubahan di dalam administrasi
pemerintahan, dan membentuk pasukan pengawal raja. Pada masa
pemerintahannya dibangun bagian khusus di dalam masjid, sebagai upaya
pengamanan khalifah selama menjalankan Sholat. Tentu saja, ia berkaca
pada kasus terbunuhnya Ali ketika akan menjalankan sholat.
Selain itu, Muawiyah memperkenalkan materai resmi untuk pengiriman
memorandum yang berasal dari khalifah. Ia pula yang pertama kali
menggunakan pos untuk mengumumkan kejadian-kejadian penting dengan
cepat. Kuda-kuda yang terlatih ditempatkan di pos pemberhentian
tertentu, sehingga petugas yang tiba di tempat itu dapa menggantikan
kudanya yang kelelahan, dan dapat meneriskan perjalanannya sampai ke pos
berikutnya.
Muawiyah, dan Rencana Penaklukkan Konstantinopel
Saat masih menjabat sebagai gubernur Syam, Muawiyah telah membangun
angkatan laut yang kuat, dan sebagai bukti kehebatan pasukan angkatan
laut tersebut yaitu mengalahkan pasukan yang dipimpin langsung kaisar
Constance II dalam pertempuran Dzatush Shawari. Pada pertempuran
tersebut, angkatan laut Byzantium kalah telak, dan Kaisar Byzantium
hampir terbunuh. Karena itu, tidak mengherankan Muawiyah mempunyai
strategi, dan kebijakan yang terukur untuk menguasai ibu kota Byzantium,
Konstantinopel. Pengalaman yang dimiliki Muawiyah dalam tata kelola
pemerintahan Syam, menjadikan ia jeli dalam melihat ancaman terhadap
Islam. Ketika itu, ia melihat imperium Byzantium sebagai ancaman
terbesar umat Islam.
Pada periode awal pemerintahannya sebagai khalifah, ia merumuskan
sebuah tujuan yang jelas dalam pemerintahannya, yaitu menekan
pemerintahan Byzantium dengan cara mengepung Konstantinopel, sekaligus
sebagai upaya untuk menguasainya. Dalam mewujudkan tujuannya, Muawiyah
menerapkan beberapa kebijakan penting, antara lain:
- Memperhatikan peran industri kapal di Mesir, dan Syam, dengan memilih tenaga kompeten untuk mengerjakan pembuatan kapal. Tentu saja hal ini bertujuan untuk memperkuat angkatan laut Islam dan mampu mengarungi Laut Mediterania dengan cepat.
- Memperkuat benteng-benteng pertahanan daerah pesisir Mesir, dan Syam. Hal ini dilakukan agar daerah-daerah itu mampu menghadapi serangan angkatan laut Byzantium sekaligus menjadi pangkalan militer angkatan laut Islam.
- Menguasai pulau-pulau yang terletak di sebelah Timur Laut Mediterania. Rencana ini dimulai dengan menguasai pulau Siprus, dan Rhodes. Pengembangan kekuasaan ini sebagai langkah awal untuk mencapai Konstantinopel
Pengepungan Pertama Konstantinopel
Setelah Muawiyah merampungkan segala persiapannya, mulailah
pasukannya menggempur Konstantinopel.untuk itu, ia mengirimkan pasukan
pengintai yang dipimpin Faddhalah bin Ubaid al-Anshar, untuk mengukur
kekuatan pertahan kota tersebut. Pasukan pengintai itu berhasil
menguasai semua benteng Byzantium dalam perjalanannya hingga ke kota
Chalcedon (salah satu distrik Konstantinopel). Faddlah pun membangun
pangkalan militer di sana, pada musim dingin tahun 668-669. Di kota
tersebut, ia mempersiapkan pasukan sekaligus menunggu pasukan tambahan
dari Damaskus.
Setelah bantuan pasukan tiba, Serangan besar dilancarkan guna
mengepung Konstantinopel untuk pertama kalinya. Pada pengepungan ini,
kepemimpinan diambil aloh oleh Sufyan bin Auf. Muawiyah juga menugasi,
Yazin bin Muawiyah, sebagai pengawas pasukan itu. Pertempuran besar ini
terjadi pada tahun 49 H, namun sangat disayangkan perjuangan penaklukkan
Konstantinopel ini harus berakhir dengan kegagalan. Kampanye militer
ini harus kembali pulang, tanpa membawa hasil karena kekohan kota
tersebut.
Meskipun serangan tersebut tidak berhasil menguasai Konstantinopel,
tetapi mempunyai dampak politik yang luar biasa. Sebab, setelah
pertempuran tersebut, kaisar Byzantium fokus mempertahankan ibu kota
mereka, karena mereka khawatir akan serangan kembali umat Islam.
Pengepungan Kedua Konstantinopel
Kegagalan dalam usaha pertama menaklukkan Konstantinopel, tidak
mematahkan semangat pasukan Muawiyah untuk menguasainya. Sekembalinya
mereka dari pengepungan, mereka berhasil menguasai Pulau Rhodes, dan
Arwad. Penguasaan ini memiliki arti penting karena dekat dengan
Konstantinopel, sehingga pulau-pulau tersebut dijadikan sebagai
pangkalan militer angkatan laut muslim untuk mengepung kembali
Konstantinopel.
Pada usaha kedua ini, Muawiyah bin Abu Sufyan mempersiapkan, dan
mengerahkan armada besar untuk mengepung Konstantinopel. Pengepungan
yang kedua ini dikenal dengan nama Perang Tujuh Tahun. Ketika peperangan
berlangsung armada laut Islam senantiasa di hadapan tembok
Konstantinopel dari tahun 54-60H. Angkatan laut Islam melengkapi
pengepungannya dengan menyiapkan kapal-kapalnya di antara Hebdomon, dan
Cyclobion.
Selama itu pula terjadi beberapa kali bentrokan antara
armada pasukan muslim dan armada Byzantium. Pada saat yang bersamaan,
angkatan darat umat Islam bentrok dengna angkatan darat Byzantium, yang
berjaga di sepanjang tembok Konstantinopel dengan melontarkan panah, dan
ketapel raksasa. Situasi, dan kondisi ini terus berlanjut selama tujuh
tahun. Hal ini disebabkan, aktivitas perang hanya terjadi pada dua
musim, yaitu musim gugur, dan panas, karena sulitnya perang pada musim
dingin.
Meskipun pasukan umat Islam telah berusaha semaksimal mungkin, tetapi
kota ini tetap kokoh di depan mereka. Setidaknya terdapat beberapa
faktor yang menhambat keberhasilan misi ini:
- Hambatan alam sekitar Konstantinopel
- Kekokohan bentengnya. Pasca pengepungan pertama, kaisar Constantine IV telah memperbaiki tembok-tembok Byzantium, dan memperkuat sistem pengamanannya.
- Senjata Api Yunani Byzantium, menghancurkan banyak kapal pasukan muslim. senjata ini berupa persenyawaan kimia yang terdiri atas minyak, belerang, dan aspal. Persenyawaan ini jika disulut dengan api, kemudian disiram dengan air justru apinya membesar. Senjata ini ditemukan oleh insinyur Suriah bernama Kalinkos, seorang pembelot dari pasukan muslim.
- Ombak laut hitam yang sangat besar.
Akhirnya, pada tahun 60 H akibat situasi politik dalam negeri, kedua
negara mengakhiri pertempuran. Mereka melakukan perundingan genjatan
senjata, dan dengan disetujuinya perjanjian damai, pasukan dan armada
Islam pun harus kembali ke Syam, sekaligus menandai berakhirnya
pengepungan selama tujuh tahun di Konstantinopel. Pada tahun yang sama,
Muawiyah meninggal dunia ketika berumur 60 tahun. Kepemimpinannya
dilanjutkan oleh anaknya, Yazid bin Muawiyah. Sebelumnya, Muawiyah telah
mengeluarkan program penerimaan baiat bagi putranya, Yazid bin
Muawiyah, sekaligus menandai berakhirnya bentuk pemerintahan demokratis.
Kekhalifahan menjadi sistem monarki herideti (turun temurun), yang
diperoleh dengan pedang, dan diplomasi, tidak dengan pengambilan suara
terbanyak.
Kebijakan Muawiyah ini dimulai dengan mewajibkan seluruh rakyatnya
untuk berbaiat kepada Yazid sebagai penggantinya kelak. Pergantian
secara turun temurun yang berdasarkan politik pun dimulai. Muwaiyah
bermaksud untuk mencontoh model pemerintahan Monarki di Persia, dan
Byzantium. Dalam perkara ini dia mengatakan “Saya adalah raja pertama
dari pada raja-raja.” Seperti layaknya sebuah kebijakan, pasti
menimbulkan pro dan kontra, hal ini juga berlaku pada deklarasi Muawiyah
yang menyebabkan pergerakan oposisi dari rakyat.
Dinasti Umayyah Periode Yazid bin Muawiyah
Pembaiatan Yazid Sebagai Khalifah
Yazid bin Muawiyah, merupakan khalifah kedua dinasti Ummayah. Ia
memerintah menggantikan ayahnya, yang meninggal pasca pengepungan kedua
Konstantinopel. Yazid bin Muawiyah, lahir pada tahun 25 H atau 26 H. Dia
bertubuh gemik, dan berbulu. Ibunya yang berasal dari suku Badui
bernama Maysun binti Bahdal Al-Kalbiyah. Muawiyah mendidik Yazid dengan
pendidikan Arab, dan Islam, dengan cara mengirimnya ke pedalaman di
bawah pengasuhan paman-pamannya dari pihak ibunya, yaitu Bani Kalb,
tujuannya agar ia tumbuh besar di lingkungan khas pedalaman yang keras,
jantan, dan ksatria. Selain itu, agar ia belajar bahasa Arab yang
murni.Pendidikan di pedalaman membuahkan hasil sebagaimana yang
diharapkan. Yazid tumbuh menjadi ahli syair yang fasih, tokoh sastra
yang cerdas, dan pandai mengambil sikap.
Ayah Yazid, Muawiyah bin Abu Sufyan, meninggal pada pertengahan
Rajab 60 H. Tampuk kekhalifahan pun dilimpahkan kepada Yazid bin
Muawiyah pada hari itu juga. Pada saat itu Yazid sedang tidak berada di
Damaskus. Maka, Adh-Dhahhak bin Qais mewakilinya untuk menerima baiat.
Ketika Yazid datang, ia disambut delegasi berbagai negeri, para
jenderal, dan tokoh-tokoh terkemukan Arab. Semuanya berbela sungkawa
atas kematian Ayahnya, sekaligus mengucapkan selamat atas
pengangkatannya sebagai khalifah.
Berdasarkan deklarasi sebelumnya umat Islam saat itu telah sepakat
membaiat Yazid. Hanya terdapat dua tokoh yang menolak untuk berbaiat
kepadanya, mereka adalah Al-Husain bin Ali, dan Abdullah bin Az-Zubair.
Pemerintahan Yazid bertahan selama tiga setengah tahun. Selama masa
pemerintahannya, tiga peristiwa penting terjadi. Pada tahun pertama,
Tragedi Karbala yang menyebabkan Al-Husain terbunuh, pada tahun kedua,
penyerbuan ke Madinah, dan pada tahun ketiga peperangan dengan Abdullah
Az-Zubair di Mekkah.
Meskipun pemerintahannya tidak terlepas dari intrik politik
kekuasaan, perluasan wilayah justru tidak pernah berhenti pada masanya.
Pada tahun 63 H, Yazid mengirimkan pasukannya yang dipimpin Uqbah bin
Nafi’ ke Afrika Utara yang berhasil mencapai pesisir Samudera Atlantik.
Selanjutnya, ia mengirimkan pasukannya untuk menyerbu kawasan
Transoxiana, sehingga pasukan Islam menyeberangi sungai Jihun (Oxus) di
bawah komando Salm bin Ziyad, ekspansi ini menyebabkan penduduk
Khawarizm, Samarkad, dan Khajandah meminta perundingan damai.
Tragedi Karbala 10 Muharam, 61 H
Ketika Muawiyah memegang tampuk kekhalifahan, kelompok Syi’ah tidak
pernah melakukan pemberontakan terbuka terhadap Muawiyah bin Abu Sufyan.
Begitu pula Al-Husain bin Ali yang dianggap kelompok Syiah sebagai
imam, dan pemimpin mereka. Bahkan Al-Husain juga tidak menggubris ajakan
penduduk Irak untuk memberontak terhadap Muawiyah.
Muawiyah secara umum memperlakukan Al-Husain dengan sebaik-baiknya.
Meskipun demikian, pasca meninggalnya Muawiyah pada tahun 60 H, kondisi
berubah. Dari sanalah meletus perlawanan Al-Husain terhadap Yazid bin
Muawiyah. Saat Muawiyah meninggal, Al-Husain sedang berada di kota
Madinah. Yazid kemudian mengutus wali kota Madinah, Al-Walid bin Utbah.
Melalui walikota, Yazid memberi kabar kematian Muawiyah, dan
memerintahkan agar Walid menerima baiat Al-Husain, dan Abdullah bin
Az-Zubair. Ketika Walid memanggil, dan meminta baiat dari mereka untuk
Yazid bin Muawiyah. Mereka meminta waktu tenggang, tetapi tidak pernah
memberikan baiat.
Pada malam yang sama, Al-Husain dan Ibnu Az-Zubair pergi ke Mekkah.
Ketika dalam perjalanan ke Mekkah, mereka bertemu dengan Ibnu Abbas, dan
Ibnu Umar. Ketika bertemu, Ibnu Abbas, dan Ibnu Ummar memberikan
nasehat kepada mereka berdua, supaya bertakwa kepada Allah dan jangan
pecah belah kaum muslim.
Sesampainya di Mekkah, utusan-utusan, dan surat-surat berdatangan
dari Kufah yang bernada penuh emosi. Mereka berkata kepada Al-Husain,
“Kami telah menahan diri kami demi engkau. Kami tidak Sholat Jumat
bersama penguasa. Maka, datangilah kami.” Karena mereka terus memaksa,
Al-Husain memerintahkan saudara sepupunya, Muslim bin Uqail, untuk pergi
ke Kufah dalam rangka membuktian kebenarannya.
Muslim berangkat dari Mekkah pada pertengahan Ramadhan, dan tiba di
Kufah pada tanggal 5 Syawal 60 H. Mengetahui kedatangan Muslim, penduduk
Kufah datang menemuinya. 12 ribu orang berjanjuisetia padanya. Ada yang
berpendapat 18 ribu. Kecerobohan gubernur Kufah, An-Nu’man bin Basyir
al-Anshari, membuat orang-orang Kufah leluasa berhubungan dengna Muslim.
Mendengar penuturan penduduk Kufah, Muslim kemudian mengirim utusan
kepada Al-Husain tentang janji setia penduduk Kufah, dan bahwa keadaan
baik-baik saja. Muslim juga meminta Al-Husain untuk datang ke Kufah.
Pada saat Muslim bin Uqail menunggu kedatangan Al-Husain, salah
seorang pendukung Yazid di Kufah, melaporkan hal itu kepada khalifah
Yazid. Yazid pun memecat An-Nu’man, dan menggantinya dengan Ubaidillah
bin Ziyad gubernur Bashrah. Yazid kemudian memerintahkan Ubaidillah bin
Ziyad agar membunuh Muslim. Ubaidillah segera ke Kufah dan mencari
Muslim. Saat itu Muslim bersembunyi di rumah salah seorang tokoh Kufah,
Hani bin Urwah Al-Muaradi. Ketika Ubaidillah mengetahui
persembunyiannya, ia menangkap mereka berdua, dan langsung membunuhnya.
Sifat asli penduduk Kufah mulai nampak, ketika Ubaidillah
mengeksekusi Muslim, dan Hani. Mereka layaknya patung yang diam melihat
Hani, dan Muslim dibunuh di depan mereka. Mereka mengingkari janji
mereka kepada Al-Husain. Sehingga Muslm bin Uqail menjadi korban atas
sikap tergesa-gesanya sendiri. ia tidak menyelidiki loyalitas, dan
ketulusan penduduk Kufah terlebih dahulu.
Ketika surat Muslim bin Uqail tentang janji setia penduduk Kufah, dan
kepatuhan sampai kepada Al-Husain, dia telah siap berangkat ke sana.
Beberapa sahabat sempat melarangnya berangkat, namun hal tersebut tidak
mengurungkan niat Al-Husain untuk ke Kuffah. Dia berangkat bersama
keluarganya, dan sekitar 70 pasukannya. Sesampai mereka di Al-Qadisiyah,
Al-Hurr bin Yazid At-Tamimi memberitahukan kabar, bahwa Muslim bin
Uqail telah terbunuh, dan meminta Al-Husain untuk kembali.
Mendengar kabar tersebut, Al-Husain sempat mempunyai pikiran untuk
kembali, tetapi saudara-saudara Musli berkata “Demi Allah, kami tidak
kembali sebelum kami membalas dendam atau kami semua terbunuh.” Nafsu
untuk balas dendam telah menguasai saudara-saudara Muslim, mereka tetap
memaksakan untuk membalas dendam meskipun itu sama saja misi bunuh diri.
Al-Husain pun terus melakukan perjalanan sampai Karbala. Sementara
itu, Ubaidillah bin Ziyad yang mengetahui keberangkatan Al-Husain ke
Karbala, telah mempersiapkan pasukan untuk memeranginya. Panglima
pasukan itu adalah pura seorang sahabat, yakni Umar bin Sa’ad bin Abu
Waqqash. Pasukan tersebut berkekuatan 3000 pasukan.
Ketika di sampai di Karbala, kelompok Al-Husain bertemu dengan Umar
bin Sa’ad. Kamp kedua kelompok tersebut berdekatan, dan orang-orang dari
kedua kelompok ini bercampur baur. Bahkan, ketika waktu sholat tiba,
sebagian pasukan Umar bin Sa’ad ikut sholat menjadi makmum Al-Husain.
Pada waktu itu Al-Husain memberikan tawaran kepada Umar bin Sa’ad
sebagaimana berikut: “Pilihlah antara engkau membiarkanku pulang ke
tempat asalku, engkau membiarkanku menemui Yazid, atau engkau
membiarkanku pergi ke daerah-daerah perbatasan.”
Umar bin Sa’ad senang mendengar tawaran Al-Husain, karena saat ia
berangkat untuk menghadang Al-Husain pun dengan berat hati. Umar bin
Sa’ad kemudian menulis surat kepada Ubaidillah, perihal tawaran
tersebut. Ibnu Ziyad menolak tawaran tersebut, dan hanya mau jika
Al-Husain menjadi tawanan. Al-Husain tentu saja menolak menjadi tawanan,
dengan mengatakan “Demi Allah, hal itu tidak akan terjadi selamanya.”
Dengan penolakan Al-Husain untuk menyerahkan diri kepada Ibnu Ziyad,
terjadilah perang yang tidak seimbang. Al-Husain dan kelompoknya habis
dibunuh. Diantara mereka ada tujuh belas pemuda Ahlu Bait. Sebelum
terbunuh Al-Husain sempat mengatakan “Ya Allah putuskanlah hukum antara
kami dan kaum yang mengundang kami untuk menolong kami lantas malah
membunuh kami.”
Al-Husain terbunuh pada hari Asyura 10 Muharram, 61 H/ 10
Oktober, 680 M. Setelah itu kepala jasadnya dipenggal oleh Shimr bin
Dhiljawshan dan dikirimkan kepada Yazid beserta dan istri-istrinya dan
saudara-saudara perempuannya. Anak laki-laikinya yang tersisa hanyalah
Ali Zainal Abidin. Sesampainya di Damaskus, Yazid memasukkan mereka ke
rumahnya, memuliakan mereka, dan mengasihani Ali bin Al-Husain. Kemudian
Yazid menyiapkan mereka untuk dipulangkan ke Madinah, dan mengembalikan
bagian kepala Al-Husain untuk dikuburkan.
Pada dasarnya Yazid sama sekali memerintahkan Ibnu Ziyad
untuk membunuh Al-Husain, dan tidak merasa senang dengan peristiwa
tersebut. Ketika Al-Husain meninggal ia menangisinya, dan sedih karena
pembunuhan itu. Bahkan sebelum Al-Husain berangkat ke Kufah, Yazid
sempat mengirimkan surat kepada Abdullah bin Abbas untuk mencegah
keberangkatan Al-Husain. Namun, sebagai pemimpin sikap kurang tegasnya
dalam memberikan komando terhadap Ibnu Ziyad, juga menjadi penyebab
tragedi tersebut terjadi. Seharusnya ia memberikan perintah jelas kepada
Ibnu Ziyad, agar tidak membunuh Al-Husain, dan menyikapinya dengan
bijaksana dan penuh pertimbangan. Apalagi, Muawiyah telah berwasiat
sebelumnya agar ia memaafkan Al-Husain jika penduduk Irak memancingnya
untuk bergerak.
Pemberontakan Warga Madinah, dan Pertempuran Al-Harrah (63H)
Pada tahun 63 H, warga Madinah memberontak terhadap Yazid bin
Muawiyah. Pemberontakan ini diawali dengan pengiriman utusan dari
Madinah, yang dikirimkan oleh walikota baru Madinah Utsman bin Muhammad.
Utusan ini dipimpin oleh Abdullah bin Hazhalah Al-Anshari. Ketika
sampai di Syam, Yazid memuliakan mereka, dan melimpahi mereka dengan
hadiah.
Meskipun telah memuliakan mereka, sebelum rombongan utusan
Madinah ini pulang, mereka sudah mengumumkan pemberontakan terhadap
Yazid, dan tidak mau mematuhinya lagi. Ketika ditanya tentang alasan
pemberontakan, mereka menjawab, “Yazid minum Khamar. Alat musik
dimainkan untuknya. Ia juga meninggalkan sholat, dan melanggar hukum
Al-Qur’an.”
Ketika pemberontak itu menemui Muhammad bin Ali (Ibnul Hanafiyah),
untuk mengajaknyya bergabung. Ibnul Hanafiyah berkata, “menurutku apa
yang kalian tuduhkan itu tidak dilakukan Yazid. Aku pernah tinggal di
kediamannya. Aku melihat sendiri Yazid rutin mendirikan sholat, gemar
berderma, bertanya tentang masalah Fikih, dan melazimkan amasl sesuai
As-Sunnah.” Setelah berdialog cukup lama, Ibnul Hanafiyah tetap teguh
pada pendiriannya, dan tidak mau ikut berperang.
Gagal mengajak Ibnul Hanafiyah bergabung, kaum pemberontak ini
kemudian mengangkat dua orang pemimpin. Abdullah bin Hazhalah Al-Anshari
mereka nobatkan sebagai pemimpin kaum Anshar. Sementara Abdullah bin
Muthi’ Al-Adawi mereka nobatkan sebagai pemimpin kaum Quraisy. Jika kita
melihat dari pola gerakan pemberontakan ini, tujuan dari pemberontakan
ini sama sekai tidak jelas, dan gerakan mereka tidak solid.
Yazid berharap dapat mengatasi pergolakan warga Madinah dengan cara
yang bijak. Ia mengutus An-Nu’man bin Basyir Al-Anshari untuk mengajak
kaum pemberontak agar kembali taat padanya, bersatu, dan tidak menyulut
perpecahan umat. Usaha tersebut tidak membuahkan hasil, mereka
menolaknya. Bahkan mereka mengusir walikota Madinah beserta seluruh Bani
Umayyah dari Madinah.
Tindakan yang dilakukan para pemberontak, menyebabkan Yazid tidak
mempunyai pilihan selain menghadapi pemberontak dengan cara militer.
Akhirnya, ia mengirimkan pasukan besar di bawah komando Muslim bin
Uqbah. Sebelum pasukan tersebut berangkat Yazid berpesan untuk
menghimbau pemberontak itu sebanyak tiga kali, jika mereka tidak mau
menerimanya maka perangilah.
Kaum pemberontak Madinah yakin bahwa Yazid tidak akan
tinggal diam melihat perbuatan mereka, dan pasti segera mengirimkan
pasukan. Mereka mengambil langkah-langkah untuk mengalahkan pasukan yang
akan datang tersebut, yaitu merusak sumber-sumber air yang ada di
antara Madinah, dan Syam, supaya pasukan yang dikirim Yazid mati
kehausan. Selain itu, pemberontak juga membuat parit untuk menghalangi
serangan. Namun, usaha tersebut sia-sia karena pada saat yang bersamaan
daerah sekitar Madinah hujan lebat, sehingga pasukan tidak kekurangan
air.
Setibanya pasukan Muslim bin Uqbah di Madinah, ia mengimbau
pemberontak Madinah sebanyak tiga kali. Namun, mereka tidak menerimanya.
Perang terbukan pun tidak terhindarkan. Kaum pemberontak Madinah, dalam
pertempuran Al-Harrah ini, akhirnya dapat ditumpas. Abdullah bin
Hanzhalah serta tokoh-tokoh pemberontak lain dapat dibunuh. Peristiwa
ini terjadi pada 27 Dzuhhijjah, 63 H.
Setelah perang Harrah usai, Muslim bin Uqbah mengeluarkan perintah Ibahatul-Madinah
(memperbolehkan pasukannya melakukan apa saja di Madinah) selama tiga
hari. Ini adalah kesalahan tersebar yang mencoreng pemerintahan Yazid,
karena selama waktu tiga hari itu pasukan-pasukan Muslim melakukan
perampasan dan pengrusakan di Madinah. Tentu saja perbuatan tersebut
tidak dapat dibenarkan, dan perbuatan tersebut dijadikan sebagai bahan
untuk menyerang sejarah mengenai dinasti Umayyah, dan pemerintahan
Yazid.
Konflik Abdullah bin Az-Zubair dan Yazid bin Muawiyah
Abdullah bin Az-Zubair memiliki nama lengkap Abdullah bin Az-Zubair
bin AL-Awwam bin Khuwailid Al-Asadi. Dia merupakan anak dari Asma’ binti
Abu Bakar Ash-Shiddiq. Abdullah pada tahun 1 H, dia merupakan bayi
muslim pertama yang dilahirkan di Madinah sejak kaum muslim hijrah ke
kota itu. Abdullah tumbuh besar secara Islami murni di lingkungan Rasul
dan sahabatnya. Dia merupakan sosok yang cerdas, tajam analisisnya,
pemberani, dan mempunyai kecakapan dalam berperang.
Ketika Muawiyah dibaiat menjadi khalifah, ia mempunyai
hubungan baik dengan Abdullah bin Az-Zubair. Muawiyah sering mengunjungi
Abdullah, dan memujinya. Dari sinilah, Abdullah bin Az-Zubair turut
serta dalam berbagai perang, dan jihad di era Muawiyah. Mulai dari
pertempuran Ifriqiyyah, sampai pengepungan Konstantinopel.
Hubungan baik antara Abdullah dan Muawiyah terus berlangsung
sampai Muawiyah mendeklarasikan pembaiatan terhadap putranya, sebagai
pengganti. Abdullah bin Az-Zubair termasuk kelompok yang kontra dengan
kebijakan tersebut. Setelah Muawiyah meninggal, hal yang diperhatikan
Khalifah Yazid bin Muawiyah adalah menerima baiat dari Abdullah bin
Az-Zubair, dan Al-Husain bin Ali. Khalifah mengirim utusan untuk menemui
wali kota Madinah, Al-Walid bin Utbah, dan memerintahkannya menerima
baiat dari kedua tokoh tersebut.
Ketika Abdullah, dan Al-Husain diundang Al-Walid, mereka meminta
waktu kepada walikota untuk memberikan jawaban. Pada akhirnya mereka
sama-sama tidak memberikan baiat, kemudian keduanya pergi menuju Mekkah.
Sesampainya di Mekah, Husain mendapatkan surat dari Kufah bahwa
puluhan ribu orang Kufah telah menunggu untuk membaiat Al-Husain.
Ketika Al-Husain datang menemui Abdullah bin Az-Zubair untuk
memberitahukan permasalahan tersebut, Abdullah melarang Al-Husain untuk
pergi ke Kufah “Sudikah engkau pergi menemui kaum yang telah membunuh
Ayahmu, dan mengusir kakakmu?”. Perkataan Abdullah merupakan peringatan
agar Al-Husain mengurungkan niatnya, namun nasehat Abdullah tersebut
tidak dituruti Al-Husain, dan tetap berangkat ke Kufah.
Pasca meninggalnya Al-Husain, Ibnu Az-Zubair tetap memilih menjadi
oposisi Yazid bin Muawiyah. Masyarakat berkumpul memihak Ibnu Az-Zubair
karena mereka membenci Yazid atas terbunuhnya Al-Husain. Sementara itu,
Yazid tidak menemukan celah untuk menumpas Ibnu Zubair, karena Ibnu
Zubair berlindung di Masjidil Haram.
Yazid bin Muawiyha sangat marah dengan sikap Abdullah bin Az-Zubair,
dan bersumpah hanya mau menerima baiat Abdullah jika ia sendiri yang
datang ke Masjid Jami’ di Syam. Yazid pun memerintahkan wali kota
Madinah untuk mengirim orang guna menjemput paksa Ibnu Az-Zubair ke
negeri Syam. Walikota Madinah lantas mengirimkan Amr bin Az-Zubair, adik
kandung Ibnu Zubair. Ketika pasukan Ibnu Zubair bertemu pasukan
adiknya, dia berhasil menghancurkan pasukan tersebut, Amr sendiri
terbunuh pada pertempuran itu.
Sejak pertempuran antara saudara itu,, Abdullah bin Az-Zubair tidak
terjangkau oleh Khalifah Yazid, sampai akhirnya Muslim bin Uqbah
Al-Murri menyerang Ibnu Zubair atas perintah Yazid, setelah menumpas
pemberontakan Madinah pada akhir 63H. Namun, ditengah perjalanan ke
Mekkah, Muslim bin Uqbah meninggal, dan komando pasukan diambil alih
oleh Al-Hushain bin Numair As-Sakuni.
Pasukan Al-Hushain tiba di Mekkah pada tanggal 26 Muharram 64 H,
tahun ketiga pemerintahan Yazid, dan mengepung Mekkah selama enam puluh
empat hari. Selama itu, terjadi saling serang antara pasukan Ibnu
Az-Zubair dan pasukan Syam yang menggunakan Manjaniq (ketapel raksasa) dari Gunung Qubais. Penyerangan tersebut menyebabkan kebakaran di Majidil Haram.
Ketika peperangan masih berlangsung, Khalifah Yazid meninggal dunia
pada 14 April Rabi’ul Awaal 64 H. Mendengar kabar kematian Yazid, Ibnu
Az-Zubair berteriak kepada pasukan Syam, “Untuk siapa kalian berperang?
Pemimpin kalian yang durhaka telah meninggal!.” Teriakan Ibnu Az-Zubair
memperlemah mental pasukan Syam, bahkan panglima pasukan Syam,
Al-Hushain bin Numari, sempat ingin membaiat Ibnu Az-Zubair sebagai
khalifah dan membawanya ke Syam. Tetapi, tawaran tersebut ditolak oleh
Ibnu Az-Zubair, dan dia memilih bertahan di Mekkah.
Dengan keputusan Abdullah nim Az-Zubair bertahan di Mekkah,
pada tahun yang sama dia dibaiat orang-orang Mekkah, Madinah, dan Irak
sebagai khalifah yang baru. Baiat tersebut terjadi pada 7 Rajab 64 H.
Sayangnya, Ibnu Az-Zubair tidak tahu bagaimana mempertahankan
kekhalifahan yang legal ini. dia sudah puas dengan kedatangan utusan
dari beberapa daerah yang suka rela membaiatnya, sambil tetap berada di
Mekkah. Bahkan dia sama sekali tidak berusaha memperkokoh, dan
melindungi baiat ini, Ibnu Az-Zubair justru memberi waktu Bani Ummayah
untuk membangun kembali pilar-pilar pemerintahannya, dengan mengusir
keluar Bani Ummayah dari Madinah.
Dengan berakhirnya pemerintahan Yazid, Dinasti Umayyah mengalami masa
kekacauan. Dinasti Umayyah baru dapat bangkit pada masa Abdul Malik
yang insyaallah akan kita bahas pada pembahasan periode Kejayaan Dinasti
Umayyah.
Baca Juga:
Artikel Lengkap Kerajaan Mataram Islam (1577-1681)
BIBLIOGRAFI
Abdul Latif, Muhammad Abdussyafi. 2014. Bangkit, dan Runtuhnya Khilafah Bani Umayyah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
As-Suyuthi, Imam. 2015. Tarikh Khulafa. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Hak, Nurul. 2012. Sejarah Peradaban Islam: Rekayasa Sejarah Islam Daulah Bani Umayyah. Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Hasan, Hasan Ibrahim. 1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Kota Kembang.
Hitti, K. Philip. 2006. History of The Arabs. Jakarta: Serambil Ilmu Semesta.
Dinasti Umayyah: Periode Awal (41-64H)
4/
5
Oleh
Admin