Piagam Jakarta adalah nama dokumen bersejarah yang
dirumuskan oleh Panitia Sembilan sebagai konsensus nasional antara pihak
Islam dan nasionalis dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI). Dokumen ini mempunyai dampak besar bagi
terbentuknya fondasi Negara Indonesia merdeka. Namun di satu sisi, juga
memunculkan kontroversi di dalamnya, terutama pada perubahan sila
pertamanya.
Latar Belakang Lahirnya Piagam Jakarta
Menjelang kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, pemerintah
pendudukan Jepang menjanjikan kemerdekaan Indonesia pada 7 September
1944.
Sebagai realisasi janji tersebut dibentuk BPUPKI yang
memulai sidang pertamanya pada tanggal 29 Mei 1945. Dalam sidang-sidang
pertama BPUPKI dilakukan dengar pendapat tentang dasar negara dan bentuk
dari pemerintahan Indonesia.
Dari serangkaian persidangan badan yang beranggotakan 62
orang ini terlihat adanya dua kutub yang berbeda pandangan, yaitu 15
orang golongan Islam menginginkan Indonesia berdasarkan syariat Islam
dan 47 orang nasionalis menginginkan Indonesia berasaskan kebangsaan.
Adanya perbedaan pendapat ini dikemukakan oleh Soepomo dalam
pidatonya pada tanggal 31 Mei 1945: “Memang di sini terlihat ada dua
paham, paham dari anggota-anggota ahli agama yang menganjurkan supaya
Indonesia didirikan sebagai negara Islam dan anjuran lain sebagaimana
telah dianjurkan oleh Tuan Mohammad Hatta, ialah negara persatuan
nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan agama, dengan lain
perkataan bukan negara Islam.”
Untuk mengatasi permasalahan ini, pada sidang kedua, 38
orang anggota melanjutkan pertemuan dan sepakat membentuk panitia kecil
yang terdiri dari sembilan orang. Pada perkembangannya panitia ini
dikenal sebagai Panitia Sembilan.
Baca Juga:
Artikel Lengkap Pembantaian Massal di Mandor, Kalimantan Barat (1943-1944 M.)
Kesembilan orang tersebut adalah Ir. Soekarno, Drs.
Mohammad Hatta, Mr. A. A. Maramis, Mr. Muhammad Yamin, Ahmad Subardjo,
Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, dan K.H
Abdul Wahid Hasyim.
Lima orang pertama dinilai mewakili golongan nasionalis dan
empat orang terakhir mewakili golongan Islam, yaitu Abikoesno
Tjokrosoejoso (Partai Sarekat Islam Indonesia), Abdul Kahar Muzakkir
(Muhammadiyah), Agus Salim (mantan tokoh Partai Sareka Islam Indonesia
dan pendiri Pergerakan Penyadar), dan Abdul Wahid Hasyim (Nahdlatul
Ulama).
Panitia Sembilan pada perjalanannya berhasil mencapai kesepakatan sementara (modus vivendi) antara golongan nasionalis dan golongan Islam. Kesepakatan tersebut berupa preambul (rancangan pembukaan) hukum dasar.
Rancangan itu semula dimaksudkan sebagai teks proklamasi, namn akhirnya dijadikan Preambul Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Preambul tersebut ditandatangani oleh Panita Sembilan pada tanggal 22
Juni 1945 di Jakarta. Oleh Muhammad Yamin rumusan ini diberi nama Djakarta Charter atau Piagam Jakarta.
Isi Piagam Jakarta dan Kontroversi Perubahan 7 Kata Sila Pertama
Rumusan naskah tentang hukum dasar negara dalam Piagam Jakarta adalah sebagai berikut:
- Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islambagi pemeluk-pemeluknya.
- Kemanusiaan yang adil dan beradab.
- Persatuan indonesia.
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pada tanggal 10 Juli 1945, ketika Piagam Jakarta dibawa ke sidang
paripurna BPUPKI, ternyata muncul pihak-pihak yang menginginkan negara
Indonesia berdasarkan kebangsaan menyampaikan keberatan dengan kata-kata
yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.”
Keberatan tersebut disampaikan oleh seorang Protestan dan anggota
BPUPKI bernama Latuharhari dalam sidang tanggal 11 Juli 1945. Ia
menyampaikan bahwa kalimat itu mungkin berakibat besar terutama terhadap
agama lain, selain itu juga bisa menimbulkan kekacauan misalnya
terhadap adat istiadat.
Haji Agus Salim, seorang pemimpin Islam yang terkenal dengan
spontan menjawab:“Pertikaian hukum agama dengan hukum adat bukan
masalah baru dan pada umumnya sudah selesai. Lain daripada itu
orang-orang yang beragama lain tidak perlu khawatir, keamanan
orang-orang itu tidak tergantung pada kekuasaan, tetapi pada adatnya
umat Islam yang 90% itu.”
Soekarno yang memimpin sidang itu mengingatkan segenap anggota bahwa
preambul itu adalah suatu hasil jerih payah golongan Islam dan
kebangsaan. “Kalau kalimat ini tidak dimasukkan tidak bisa diterima oleh
kaum Islam.”
Beberapa orang lainnya menyampaikan pula keberatannya.
Wongsonegoro dengan dukungan Husein Djajadiningrat juga menyatakan bahwa
kalimat itu “mungkin menimbulkan fanatisme karena seolah-olah memaksa
menjalankan syariat bagi orang-orang Islam.”
Kali ini Abdul Wahid Hasyim tampil menjawab dan mengingatkan mereka
pada dasar permusyawaratan, paksaan-paksaan tidak bisa terjadi. “Bila
ada orang yang menganggap kalimat ini tajam, ada juga yang menganggap
kurang tajam.”
Soekarno sekali lagi mengulangi bahwa anak kalimat itu merupakan
“kompromi antara golongan Islam dan golongan kebangsaan, yang hanya
didapat dengan susah payah.”
Sidang pada hari itu berakhir dengan kata-kata kesimpulan
sebagai berikut: “oleh karena pokok-pokok lain kiranya tidak ada yang
menolak, pokok-pokok dalam preambul dianggap sudah dapat diterima.”
Kemudian Soekarno membentuk Panitia Kecil Perancang Undang-Undang
Dasar yang terdiri atas: Soepomo (ketua, Wongsonegoro, Soebardjo,
Maramis, Singgih, Agus Salim, dan Soekiman. Panitia ini mulai bekerja
pada hari berikutnya, yakni pada 12 Juli 1945.
Akan tetapi, persoalan kalimat sila pertama muncul kembali dalam
sidang BPUPKI saat membahas batang tubuh UUD, terutama tentang asas
negara dan persyaratan sebagai presiden. Pelobian pun mulai dilakukan
oleh kaum nasionalis dan Islam. Pada tanggal 16 Juli 1945, dicapai
kesepakatan menerima rancangan tersebut dengan suara bulat.
Pada tanggal 7 Agustus 1945, dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) dengan Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai ketua dan
wakil ketua.
Dalam kepanitiaan ini presentase golongan Islam lebih
sedikit dibandingkan dalam BPUPKI karena komposisi anggota PPKI disusun
berdasarkan keragaman daerah. Tokoh-tokoh golongan Islam sebelumnya yang
tergabung dalam BPUPKI banyak yang tidak tercantum sebagai anggota, di
antaranya: Abdul Kahar Muzakkir, Agus Salim, Mas Masykur, Ahmad Sanusi,
dan Abikoesno Tjokrosoejoso.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, setelah Jepang menyerah kepada
Sekutu, atas nama bangsa Indonesia Soekarno dan Mohmmad Hatta
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Sore harinya Hatta didatangi oleh seorang perwira angkatan laut
Jepang yang menyampaikan keberatan para tokoh Indonesia bagian Timur
atas pemakaian kata-kata dalam Piagam Jakarta yang berbunyi “dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Menurut
mereka, meskipun kata-kata tersebut tidak mengikat agama lain di luar
Islam, namun dengan mencantumkan ketetapan seperti itu dalam UUD berarti
menimbulkan perbedaan golongan. Jika hal ini tidak segera diatasi,
dikhawatirkan pemberontakan tidak dapat dihindarkan.
Untuk menghindari perpecahan, keesokan harinya pada tanggal 18
Agustus 1945, sebelum sidang PPKI dimulai, Hatta mengadakan pembicaraan
dengan tokoh-tokoh Islam, yakni KH Abdul Wahid Hasyim, Teuku Muhammad
Hasan, dan Ki Bagus Hadikusumo tentang rencana perubahan kata-kata dalam
Piagam Jakarta. Mereka menyetujui usulan yang disampaikan oleh Hatta.
Dalam sidang tersebut Hatta menyampaikan usulan perubahan sebagai berikut:
- Kata “mukadimah” diganti dengan kata “pembukaan”.
- Dalam Preambul (Piagam Jakarta), anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dirubah menjadi “berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”
- Kata-kata “dan beragama Islam” dalam pasal 6 ayat 1 dihilangkan, sehingga berbunyi “ Presiden ialah orang indonesia asli.” menggantikan “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam.”
- Sejalan dengan perubahan yang kedua di atas, maka pasal 29 ayat 1 menjadi: “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagai pengganti “Negara berdasarkan atas ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Pendekatan yang dilakukan oleh Hatta terhadap wakil golongan Islam,
berpegang pada pernyataan Soekarno bahwa UUD 45 tersebut bersifat
sementara, serta mengingat pentingnya persatuan bangsa, maka usulan
tersebut diterima oleh sidang PPKI.
Dalam hal ini Kasman Singodimejo mengatakan “seikhlas-ikhlasnya saya
memberi izin itu, apalagi demi kemerdekaan, kesatuan, dan persatuan
bangsa”. Selanjutnya, Piagam Jakarta yang sudah mengalami perubahan itu
ditetapkan sebagai Pembukaan UUD 1945
Masalah keagamaan muncul kembali setelah kemerdekaan. Atas usul KH
Abu Dardiri, M Saleh Suadi, dan M. Sukoso Wirjosaputro yang kemudian
memperoleh dukungan dari Mohammad Natsir, Dr Marwadi, Marzuki Mahdi, dan
N. Kartosudarmo, sidang pleno Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia
Pusat (BP-KNIP) yang dipimpin oleh Sutan Sjahrir pada bulan November
1945 di jakarta mendesak pemerintah agar membentuk satu departemen
tersendiri yang mengurus masalah agama.
Pemerintah menyetujui usulantersebut. Hal ini ditandai dengan
dikeluarkannya Penetapan Pemerintah tanggal 3 Januari 1946 tentang
pembentukan Departemen Agama secara yuridis formal.
Kebijakan itu merupakan realisasi dari pasal 29 UUD 1945 dan
penghargaan atas sikap umat beragama, khususnya umat Islam yang telah
bersedia menghilangkan tujuh kata “dengan menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945.
BIBLIOGRAFI
Anshari, Endang Saifuddin. 1997. Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press.
Hutagalung, Batara. R. 2010. Serangan Umum 1 Maret 1949. Yogyakarta: LKiS.
Poesponegoro, Marwati Djoened. 1984. Sejarah nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ridwan, Kafrawi dkk. 1993. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
Piagam Jakarta 22 Juni 1945 ( Artikel Lengkap )
4/
5
Oleh
Admin