Latar Belakang Permasalahan Indonesia dan Malaysia
Gagasan pembentukan Federasi Malaysia yang menyatakan
Malaya, Singapura, Serawak, Brunei, dan Sabah (Kalimantan Utara) pertama
kali dilontarkan oleh Perdana Menteri Federasi Malaya Tunku Abdul
Rahman pada 27 Mei 1961. Maksud dari penggabungan ini adalah untuk
mempererat kerjasama antara negara-negara tersebut di bidang politik dan
ekonomi.
Rencana itu didukung oleh Inggris, karena dengan
terbentuknya Federasi Malaysia, Inggris dapat mempertahankan
kepentingannya di wilayah itu, antara lain pangkalan militernya di
Singapura dan mengamankan modalnya di Kalimantan Utara.
Pada Agustus 1961, Komisaris Jenderal Inggris Lord Selkirk
berkunjung ke Jakarta guna memberitahu secara resmi rencana pembentukan
Federasi Malaysia.
Sikap para pemimpin Indonesia pada umumnya seragam, tidak
menolak atau menentang rencana itu. Satu-satunya yang menolak rencana
tersebut adalah PKI. Alasannya, pembentukan Federasi Malayia adalah
bentuk neokolonialisme dan sebagai usaha untuk menekan gerakan rakyat di
daerah untuk menentukan nasib sendiri.
Sebagai tindak lanjut dari ide pembentukan Federasi Malaysia, pada 23
November 1961, pemerintah Malaya dan Inggris mengadakan perjanjian yang
dikenal dengan nama Malaysia Accord. Dalam perjanjian itu disebutkan:
- Federasi Malayasia akan terdiri dari Negara Malaya, Singapura, Serawak, Sabah, dan Brunei.
- Akan dibentuk panitia untuk meninjau pandangan rakyat negara-negara di Kalimantan Utara dan pandangan Sultan Brunei.
- Perjanjian pertahanan antara Inggris dan Federasi Malaya akan berlaku secara otomatis sejak terbentuknya Federasi Malaysia.
- Pemerintah Malaysia memberi hak kepada Inggris untuk meneruskan pangkalan militernya di Singapura guna menjaga keamanan negara Federasi Malaysia, negara-negara commonwealth pada umumnya dan menjaga keamanan di Asia Tenggara.
Kendati demikian, rencana pembentukan Federasi Malaysia tidak
didukung oleh seluruh rakyat. Di Malaya banyak partai yang menolak,
terutama partai sayap kiri seperti Malayan Communist Party. Di Serawak, United People’s Party jug a menolak, bahkan sempatmengirim surat ke PBB. Di Singapura, Barisan Sosialis dan United People’s Party tidak mendukung masuknya Singapura ke dalam Federasi Malaysia.
Baca Juga:
Artikel Lengkap Pembantaian Massal di Mandor, Kalimantan Barat (1943-1944 M.)
Oposisi hebat muncul di Brunei, Partai Rakyat pimpinan Azahari
Muhammad yang memenangkan pemilihan umum tahun 1862, menolak pembentukan
Federasi Malaysia. Ia menginginkan pemerintahan sendiri dan kemerdekaan
bagi seluruh Kalimantan Utara. Mereka juga mengharapkan bantuan
Indonesia. Penolakan itu bahkan sempat memunculkan pemberontakan
terhadap Inggris.
Sultan Brunei sendiri menolak gagasan penggabungan itu, karena
masalah-masalah keuangan yang belum terselesaikan. Penolakan sultan
mengakibatkan Brunei tetap menjadi wilayah jajahan Inggris dan baru
merdeka pada tahun 1984.
Sementara itu, pada 13 Februari 1963, Soekarno mengambil keputusan
untuk menolak pembentukan Federasi Malaysia. Perang kata-kata antara
Jakarta dan Kuala Lumpur berlangsung sejak bulan April 1963, ketika
Soekarno untuk pertama kalinya mengecam pembentukan Federasi Mlayasia
pada Konferensi Wartawan Asia-Afrika.
Pada 9 Juli 1963, di London, Perdana Menteri Malya Tunku Abdul rahman
menandatangani dokumen tentang pembentukan Federasi Malaysia.
Penandatangan itu menambah tegang situasi antara kedua negara.
Mekipun penandangan dokumen pembentukan Federasi Malaysia telah
dilakukan, konferensi antara tiga kepala negara (Filipina, Indonesia,
dan Malaysia) tetap berlangsung pada 30 Juli-5 Agustus 1953. Konferensi
yang berlangsung dalam ketegangan itu menghasilkan tiga dokumen yaitu
Deklarasi Manila, Persetujuan Manila, dan Komunike Bersama.
Mengenai pembentukan Federasi Malaysia, ketiga kepala pemerintahan
sepakat meminta Sekjen PBB untuk melakukan pendekatan terhadap rakyat di
daerah-daerah yang akan dimasukkan dalam Federasi Malaysia. Pasal 10
dari Persetujuan Manila menyatakan Indonesia menyambut baik pembentukan
Federasi Malayisa jika didukung oleh rakyat di Kalimantan Utara dan
dukungan itu adalah hasil penyelidikan oleh pihak yang bebas dan tidak
memihak.
Pasal 11 Perstujuan Manila antara lain menyatakan kesanggupan Malaya
untuk melakukan pembicaraan dengan pemerintah Igngris dan pemerintah
Kalimantan Utara serta meminta Sekjen PBB untuk menyelidiki kehendak
rakyat Kalimantan Utara.
Berdasarkan perjanjian itu Sekjen PBB menunjuk sembilan anggota
Sekretariat PBB menjadi anggota Tim PBB untuk masalah Malaysia yang
dipimpin oleh Laurence V. Michelmore.
Akan tetapi, Perjanjian Manila dilanggar setelah keluarnya pengumuman
dari Kuala Lumpur dan London bahwa Malaysia tetap akan diproklamasikan
pada 16 September 1963. Pemerintah Inggris dan Perdana Menteri Maya
telah bertekad tetap akan membentuk negara Federasi Malaysia apapun
hasil dari penyelidikan PBB.
Indonesia dan Filipina dengan keras menentang hal itu. Namun,
proklamasi Federasi Malaysia tetap dilaksanakan pada 16 September 1963,
sebelum tim PBB menyampaikan laporan penyelidikannya.
Situasi yang Semakin Memanas
Pemerintah RI menilai tindakan Malaysia merupakan pelanggaran
terhadap PBB dan pernyataan bersama Tiga Kepala pemerintahan itu.
Soekarno sendiri memandang tindakan yang dilakukan oleh Tunku Abdul
Rahman sebagai act of bad faith.
Esok harinya pada 17 September 1963, pemerintah Indonesia secara sepihak memutus hubungan diplomatik dengan Kuala Lumpur.
Situasi semakin panas setelah rakyat di Jakarta mengadakan
demonstrasi terhadap Kedutaan Besar Malaya dan Inggris di Jakarta.
Keesokan harinya, demonstrasi balasan diadakan di depan Kedubes
Indonesia di Kuala Lumpur. Demonstran di Malaysia mengutuk aksi yang
terjadi di Jakarta.
Pada 21 September 1963, Pemerintah RI juga memutus hubungan ekonomi
dengan Malaya, Singapura, Serawak, dan Sabah. Bahkan salah satu program
Kabinet Kerja (13 November 1963-27 Agustus 1964) adalah pengganyangan
Malaysia.
Penolakan Indonesia semakin keras, setelah melancarkan konfrontasi
dengan mengirim sukarelawan untuk membantu rakyat Kalimantan Utara
melawan Inggris.
Usaha-usaha untuk memecahkan permasalahan sebenarnya sempat
dilakukan. Di antaranya pertemuan Menteri Luar Negeri ketiga negara di
Bangkok pada 5-10 Februari 1964 dan 3-6 Maret 1964. Sayangnya pertemuan
itu tidak menghasilkan sesuatu yang positif karena perbedaan pemikiran
pemimpin negara-negera tersebut.
Keluarnya Dwikora
Di tengah situasi genting, pada 3 Mei 1964, Soekarno menyerukan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang berisi:
- Perhebat ketahanan revolusi Indonesia.
- Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malya, Singapura, Sabah, Serawak, dan Brunei untuk membubarkan negara boneka Malaysia.
Sejak dikumandangkannya Dwikora, konfrontasi bersenjata antara kedua
belah pihak pun secara resmi dimulai. Gerilyawan Indonesia berusaha
masuk ke daerah Malaya, Singapura, dan Kalimantan Utara dan melancarkan
operasi-operasi militer.
Pihak Indonesia menyatakan bahwa Dwikora bukan untuk melawan rakat
Malaysia melainkan untuk mengganyang negara boneka Malaysia. Pernyataan
tersebut sebagai respon dari gugatan Malaysia yang disampaikan di PBB
bahwa Indonesia melanggar wilayah kedaulatannya.
Ketegangan politik dan militer di Asia Tenggara menarik perhatian
negara-negara besar dunia. Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy
mengrimkan Jaksa Agung Robert Kennedy untuk menemui ketiga kepala negara
dan mengajak untuk mengambil langkah perundingan. Lahkah Kennedy untuk
melakukan mediasi juga diikuti Perdana Menteri Jepang Ikeda dan Mneteri
Luar Negeri Thailand Thanat Khoman.
Untuk mengusahakan mediasi, diadakan pertemuan tingkat menteri luar
negeri ketiga negara di Tokyo pada 5 Juni 1964. Pertemuan itu mencapai
puncaknya pada 20 Juni 1964. Sempat terjadi kesepakatan antara ketiga
negara dalam membentuk suatu komisi konsiliasi yang beranggotakan
wakil-wakil negara Malaysia, Filipina, dan Indonesia (Maphilindo)
ditambah seorang wakil dari negara Asia lainnya sebagai ketua.
Keluarnya Indonesia dari PBB
Usaha rekonsiliasi ternyata tidak berjalan seperti yang diharapkan,
justru kondisi semakin panas setelah tersiar kabar bahwa ada usaha untuk
menjadikan Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Presiden Soekarno menanggapi hal itu dalam pidatonya pada tanggal 31
Desember 1964 “Oleh Karenanya, jikalau PBB sekarang, PBB yang belum
diubah, yang tidak lagi mencerminkan keadaan sekarang, jikalau PBB
menerima Malaysia menjadi anggota Dewan Keamanan, kita, Indonesia, akan
keluar, kita akan meninggalkan PBB sekarang.”
Pada 31 Desember 1964, wakil tetap Indonesia di PBB
menyampaikan isi pidato presiden kepada Sekretaris Jenderal PBB dan
mengharapkan agar anggota PBB mengusahakan Indonesia untuk tetap tinggal
dalam PBB. Akan tetapi Indonesia tidak mencapai hasil yang
diinginkannya.
Satu minggu setelah pidato Presiden Soekarno, 7 Januari 1965,
Malaysia diterima sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Merespon hal itu, Presiden Soekarno dalam pidato tanggal 7 Januari 1965
mengatakan, “Sekarang karena ternyata Malaysia diterima menjadi anggota
Dewan Keamanan, saya menyatakan, Indonesia keluar dari PBB.”
Dijelaskan lebih lanjut bahwa Indonesia bukan hanya tidak hadir dalam
sidang dan pertemuan, melainkan benar-benar keluar dari PBB, tidak lagi
menjadi anggota. Ditambahkan pula bahwa keluarnya Indonesia dari
badang-badan khususnya, yaitu UNESCO, UNICEF, dan FAO.
Keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB diberitahukan secara resmi
dengan surat oleh Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio pada 20 Januari 1965
yang menyebutkan bahwa keluarnya Indonesia dari organisasi dunia itu
terhitung mulai tanggal 1 Januari 1965.
Sekretaris PBB U Thant, dalam surat jawabannya tertanggal 26 Januari
1965 menyatakan penyesalannya atas keputusan itu dan mengharapkan supaya
Indonesia pada suatu hari akan kembali melakukan kerjasama dalam PBB.
Sebagai wujud keseriusannya, presiden Soekarno menolak bantuan ekonomi
Amerika Serikat bagi Indonesia pada 25 Maret 1965.
Di samping surat resmi kepada Sekretaris Jenderal PBB, Presiden
Soekarno juga menulis surat kepada beberapa kepala negara untuk
menjelaskan kondisi dan alasan Indonesia keluar dari badan dunia itu.
Setelah Indonesia keluar dari PBB, untuk meningkatkan konfrontasi,
pada 28 Februari 1965 dibentuk Komando Siaga (Koga) yang dipimpin Mayor
Jenderal Soeharto. Tujuannya adalah untuk mengkoordinasikan pasukan ABRI
dan sukarelawan di perbatasan.
Setelah peristiwa G-30 S PKI, konfrontasi tidak mengendur bahkan
ditingkatkan dengan dibentuknya Komando Ganyang Malaysia (Kogam) pada 23
Januari 1965. Pada sidang Kogam kedua, Maret 1966, ditetapkan kebijakan
untuk meningkatkan kegiatan mengganyang Malaysia.
Berakhirnya Konfrontasi
Pada masa Orde Baru, politik konfrontasi diakhiri, diganti
dengan politik bertetangga dan bersahabat baik serta hidup berdampingan
secara damai dan saling menguntungkan. Setelah keluar Surat Perintah 11
Maret 1966, Mayor Jenderal Soeharto sebagai pengemban surat perintah,
tidak mengiginkan konfrontasi dilanjutkan, karena menurutnya tidak
bermanfaat.
Isyarat untuk damai semakin jelas setelah diselenggarakan perundingan
di Bangkok pada 30 April-1 Juni 1966 antara Menlu Indonesia Adam Malik
dan Menlu Filipina Narcisco Ramos. Mereka sepakat untuk menggunakan
Perjanjian Manila tahun 1963 sebagai landasan untuk menyelesaikan
konfrontasi.
Perundingan untuk menyelesaikan konfrontasi diselenggarakan di
Bangkok pada 29 Mei-1 Juni 1966. Delegasi RI dan delegasi Malaysia
sepakat bahwa masalah Sabah dan Serawak tidak menjadi syarat normalisasi
hubungan kedua negara.
Delegasi RI setuju untuk tidak membahas masalah Sabah serta Serawak
dan lebih memusatkan perhatian pada penyelesaian konfrontasi dan
pemulihan hubungan. Kedua delegasi sepakat untuk kembali pada Perjanjian
Persahabatan RI-Malaya tahun 1957 dan Perjanjian Manila tahun 1963.
Setelah perundingan Bangkok, diadakan pertemuan-pertemuan tidak resmi
untuk mencari kesepakatan. Salah satu pertemuan itu adalah perundingan
antara Ghazali Syafei dan Mayjen Soeharto di Jakarta pada 10 Juni 1966.
Pertemuan dimaksudkan untuk memberikan penjelasan tentang beberapa hal
dari hasil persetujuan Bangkok. Perundingan tersebut juga bertujuan
untuk menyiapkan pertemuan kedua antara Menteri Luar Negeri Aadam Malik
dan Tun Abdul Razak.
Pada 18 Juli 1966, delegasi Indonesia kembali bertemu
Perdana Menteri Malaysia. Dalam perundingan tersebut disepakati masalah
Sabah dan Serawak. Indonesia mengakui Sabah dan Serawak sebagai bagian
dari Malaysia dan mengakui Malaysia jika pemilu telah dilaksanakan di
wilayah tersebut.
Pemulihan hubungan semakin mendekati kenyataan setelah Kogam menyetujui hasil-hasil perundingan Bangkok tanggal 30 juli 1966.
Sementara itu, pemerintah Filipina memberikan pengakuan diplomatik penuh kepada Malaysia pada 3 Juni 1966.
Normalisasi hubungan antara Indonesia dan Malaysia dituangkan dalam Piagam Agreement to Normalise Relations between Malaysia and the Republic of Indonesia.
Piagam itu ditandatangani oleh Menter Luar Negeri Adam Malik dan
Menteri Luar Negeri Malaysia Tun Abdul Razak pada tanggal 11 Agustus
1966 di Gedung Departeman Luar Negeri RI.
Dengan penandatangan persetujuan itu itu, konfrontasi antara
Indonesia dan Malaysia berakhir. Dalam persetujuan tersebut kedua belah
pihak setuju untuk memberi kesempatan kepada rakyat Sabah dan Serawak
untuk menegaskan kembali statusnya melalui pemilihan umum. Kedua negara
juga sepakat untuk segera memulihkan hubungan diplomatik dan
menghentikan permusuhan sejak ditandatangani persetujuan.
Baca Juga:
Lengkap Perjuangan Pattimura di Saparua Tahun 1817 M
Keesokan harinya, 12 Agustus 1966, Menlu Adam Malik
mengunjungi Malaysia menandai berakhirnya konfrontasi antara kedua
negara. Kemudian sejak tanggal 31 Agustus 1966, kedua pemerintahan
membuka kembali hubungan diplomatik.
Akan tetapi penandatangan persetujuan tidak otomatis
menghilangkan suasanan konfrontasi di Kalimantan Utara. Sampai bulan
September 1966 di sana masih terjadi kontak senjata antara pasukan
Inggris dan gerilyawan Indonesia.
Pada 28 September 1966, Indonesia kembali menjadi anggota PBB.
Sesudah penandatangan piagam, hubungan antara Indonesi adan Malaysia semakin erat sehubungan dengan dibentuknya Association of South East Asia Nations (ASEAN) pada 8 Agustus 1967.
BIBLIOGRAFI
Imran, Amrin. 2012. Indonesia dalam Arus Sejarah: Perang dan Revolusi. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
Poesponegoro, Marwati Djoened. 1984. Sejarah nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Dwi Komando Rakyat (Dwikora) 1964 M ( Artikel Lengkap )
4/
5
Oleh
Admin